Suara batuk yang berat terdengar dari dapur. Suara Mak Inah. Sudah dua hari Mak Inah terserang batuk, hingga sekarang batuknya semakin terdengar berat. Willy mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih terasa sepat. Dada Willy sesak tiap kali mendengar Mak Inah batuk. Dalam benaknya, Willy menyalahi dirinya sendiri. Kalau saja dua hari lalu Willy tak mengeluh tentang sepatunya yang jebol, pasti Mak Inah tidak akan hujan-hujanan saat kembali dari pasar. Apalagi Mak Inah harus berhutang demi sepatu Willy.
Happ...
Willy bangkit dari tidurnya dan menghampiri Mak Inah di belakang rumah.
"Mak, masih batuk?" Tanya Willy, mengkhawatirkan Mak Inah.
"Sudah, biar Willy yang ambil air untuk masak krau," lanjutnya sebelum Mak Inah sempat menjawab.
Biasanya, Mak Inah akan segera menolak jika Willy memaksanya untuk mengambil alih pekerjaannya. Tapi tidak untuk kali ini. Mak Inah memilih untuk menyingkir dan memberikan pekerjaannya. Di pinggir jalan setapak dekat belakang rumahnya, Mak Inah berjongkok karena lelah. Berkali-kali ia terbatuk.
"Mak pulanglah duluan, biar Willy yang penuhi baknya. Minum banyak air putih," saran Willy yang sedari tadi diam-diam melirik Mak Inah.
"Kamu ndak apa-apa kalau Mak tinggal? Sebentar lagi kamu harus sekolah lho, Le."
"Nggak apa-apa, Mak. Iya, ini sebentar lagi juga selesai. Hati-hati jalannya ya, Mak."
Usai memperhatikan Mak Inah hingga punggungnya tak lagi terlihat, Willy kembali melanjutkan timba airnya. Seperti biasa, setiap dua embernya penuh, Willy akan bergegas membawanya ke rumah, lalu memenuhi bak-bak berukuran besar yang ada di sana. Sesekali Willy menengok Mak Inah yang sedang beristirahat di sebelah Manda yang masih terlelap. Sampai seluruh bak yang ada terisi penuh, Willy bergegas mandi untuk berangkat ke sekolah.
***
"Kemarin ada soal yang ndak aku mengerti, Wil. Belajar bersama hari ini, kita bahas soal itu dan contoh lainnya saja, ya?" tanya Bagas. "Aku takut soal semacam itu akan banyak dikeluarkan saat Ujian Nasional nanti," lanjut Bagas karena tak juga mendapat jawaban dari Willy. Bagas berhenti membolak balikan lembaran bukunya, lalu mendongak melihat Willy.
Ternyata benar, sahabatnya itu tidak mendengarkannya bicara. Willy terlihat melamun, meski tangannya memegang buku dan ballpoint. Bagas tak langsung menegurnya. Ia perhatikan wajah sahabatnya itu dengan teliti. Sejurus kemudian, barulah Bagas menyentuh bahu Willy.
"Kamu sedih kenapa, Wil?"
Mendapati sentuhan Bagas, seketika Willy terperanjat kaget meski Bagas menyentuhnya pelan.
"Eh, ndak kok Gas. Aku ndak sedih," Willy berusaha menutupi, namun Bagas tau sahabatnya berbohong.
"Kamu masih menganggap aku sahabatmu kan?"
"Tentu," Willy menjawab dengan cepat dan mantap.
"Apa ada yang ditutup-tutupi antar sahabat? Bukannya sahabat juga tempat berbagi?"
Mendengar buruan pertanyaan Bagas, Willy menunduk. Ia mengamini apa yang dikatakan Bagas.
"Mak Inah sakit, Gas. Dan itu gara-gara aku, gara-gara sepatu ini," Willy menunjuk sepatu berwarna hitam yang dikenakannya.
"Sakit apa?"
"Sepertinya flu. Hanya saja batuknya bertambah parah," cerita Willy.
"Sudah ke dokter?"