JALAN YANG TERBELAH

Eko Broto Budiarto
Chapter #8

Langit sore di tepian Sungai Katingan mulai berwarna jingga saat Boe menyelesaikan catatan lapangannya untuk hari itu. Jembatan yang sempat ditunda kini sudah rampung, dengan abutmen baru yang dibangun di atas tanah warisan milik almarhum suami Ibu Sarina

Langit di atas Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tampak kelabu ketika Boe berdiri di bibir bukit mengamati lembah panjang yang membentang sejauh mata memandang. Di bawah sana, dua kampung yang dahulu terpisah oleh jurang dan sungai deras, kini hanya terhubung oleh jalan setapak tanah yang licin dan berliku. Di musim kemarau, anak-anak sekolah bisa melintasinya dengan hati-hati. Tapi ketika hujan tiba, jalan itu menjadi lumpur hidup yang bisa menelan langkah kaki. Seorang ibu hamil pernah terpeleset di tanjakan, dan seorang petani pernah kehilangan hasil panennya karena perahu bambu yang ia gunakan terbalik saat menyeberangi arus sungai.

Boe datang ke sana bukan atas penugasan reguler, tapi atas permintaan langsung dari seorang sahabat lamanya—Rizal, rekan kuliah sekaligus kepala dinas pekerjaan umum setempat. “Bo, gue butuh lu buat proyek ini. Jalan penghubung dua kecamatan ini udah dirancang sejak sepuluh tahun lalu, tapi gagal terus. Entah karena kontraktor kabur, atau karena lahan sengketa. Sekarang ada anggaran baru, tapi warga dua kampung nggak mau bersatu buat pembebasan lahannya. Mereka masih saling curiga. Kalau lu nggak datang, bisa-bisa jembatan ini batal lagi.”

Boe menatap peta kontur yang dibentangkan di meja kayu rumah adat milik Kepala Desa Tondowatu. Dari data itu, jelas terlihat bahwa rute paling efisien memang harus membelah tanah milik tiga keluarga besar dari dua kampung yang selama ini berseberangan. Namun sejarah masa lalu menyimpan luka yang belum sembuh. Kampung Tondowatu dan kampung Lawulawu pernah terlibat sengketa batas tanah belasan tahun lalu yang hampir berujung bentrokan fisik. Meski kini generasi muda mereka berteman di media sosial dan beberapa bahkan menikah lintas kampung, para tetua masih menolak untuk duduk satu meja membahas proyek pembangunan. “Jalan itu memang dibutuhkan, Bo. Tapi mereka bilang, jangan bangun di atas luka.”

Hari pertama Boe memilih diam. Ia hanya berjalan menyusuri lembah, mencatat elevasi tanah, memotret kondisi eksisting, dan berbicara dengan anak-anak sekolah. Ia melihat sendiri bagaimana anak-anak itu harus menyeberangi sungai yang deras dengan rakit yang dibuat dari galon bekas dan bambu. Ia mencatat bahwa elevasi tertinggi di titik bukit bisa digunakan sebagai tempat pembangunan jembatan ringan dari struktur baja tipe bailey bridge yang bisa dirakit modular. Namun konstruksi jembatan hanya menyelesaikan satu bagian kecil. Masalah utamanya adalah koneksi antarhati warga yang terputus.

Di malam hari, ia berdiskusi dengan para kepala dusun. Sayangnya, hanya kepala dusun dari kampung Tondowatu yang hadir. Sementara dari kampung Lawulawu, tak satu pun datang. “Mereka bilang tidak percaya,” kata kepala dusun sambil menyeruput kopi hitam. “Katanya nanti tanah mereka dibayar murah, lalu ditinggal. Padahal tanah itu tanah adat, bukan bisa dijual beli seenaknya.” Boe mengangguk pelan. Ia tahu, cara menyelesaikan ini bukan lewat alat berat, tapi lewat hati-hati.

Lihat selengkapnya