JALAN YANG TERBELAH

Eko Broto Budiarto
Chapter #9

Bab 9 - Ujian Kedua: Sumpah Adat

Tiga minggu setelah kembali dari Lembata, Boe belum sepenuhnya bisa tidur tenang. Bukan karena kelelahan fisik, melainkan karena isi surat bersampul coklat lusuh yang dikirimkan lewat jasa pos daerah dan ditandatangani hanya dengan tiga huruf: TUA. Surat itu berasal dari sebuah desa tua di pegunungan timur Kalimantan Barat, wilayah yang selama ini dikenal sebagai jalur pedalaman Dayak yang jarang tersentuh pembangunan. Isinya singkat, tapi tegas. “Kami tidak menolak jembatan, tapi kami menolak cara kalian membangun. Jika anak muda kalian tetap masuk tanpa bicara pada kami, kami akan ajak alam bicara lewat sumpah adat. Datanglah, Boe, sebelum tanah ini menolak semua tiang.”

Surat itu tak disampaikan lewat kementerian, tidak pula melalui sistem birokrasi. Tapi justru sampai ke tangan Boe karena seseorang dari kampung itu, yang pernah bertemu Boe di proyek tahun sebelumnya, datang langsung ke Jakarta dan menitipkannya lewat seorang relawan organisasi sosial. Seolah jalan resmi sudah tak cukup, dan yang tersisa hanya ikatan batin. Boe tahu, ia tak bisa mengabaikan panggilan itu. Sekalipun proyek di Kalbar itu bukan di bawah pengawasan langsungnya, ia tetap meminta izin pada atasannya untuk pergi dan melihat langsung. Atasannya mengangguk, bahkan memberinya lampu hijau penuh. “Kalau kamu yang turun, mungkin kepala-kepala tua itu mau bicara.”

Perjalanan ke desa tua itu bukan perkara mudah. Dari Pontianak, Boe harus terbang ke Sintang, lalu naik mobil dobel gardan selama tujuh jam ke arah timur laut, kemudian menyeberang sungai kecil dengan rakit, dan berjalan kaki sejauh lima kilometer melewati hutan sekunder. Saat Boe tiba di desa itu—Desa Batu Lejong—waktu seolah berjalan mundur. Rumah-rumah kayu berdiri berderet seperti buku tua, ada tiang-tiang berukir tengkorak kayu di depan balai adat, dan suara lonceng kayu berbunyi pelan setiap kali angin lewat. Warga tak banyak bicara saat menyambutnya. Mereka hanya menunduk hormat, lalu membiarkannya lewat begitu saja. Seorang lelaki tua dengan sorban merah menyambutnya di pintu rumah panjang. “Namaku Tua Makan. Aku yang kirim surat itu. Duduklah, kita bicara sebelum tanah bicara.”

Boe duduk di atas lantai kayu yang dingin. Ia tak berbicara, hanya menunggu. Setelah beberapa menit, Tua Makan mulai menjelaskan bahwa jembatan baja yang dirancang untuk membentang di atas Sungai Lirung, rencananya akan menghubungkan dua kampung besar. Tapi titik abutmen sisi selatan ternyata berada tepat di atas tanah ritual kuno yang dulu digunakan untuk pemakaman adat Dayak sebelum zaman Belanda. Tidak ada penanda khusus, hanya satu pohon tua dan undakan batu yang terlihat biasa bagi mata insinyur, tapi sangat sakral bagi warga. “Mereka bawa ekskavator, gali tanah, dan dalam satu minggu, dua anak demam tinggi. Lalu ayam mati mendadak. Itu bukan hal biasa.”

Boe menunduk. Ia tahu, ini bukan laporan teknis biasa. Tapi ia juga tidak bisa langsung percaya begitu saja bahwa semua itu murni supranatural. Maka ia bertanya, “Apa ada yang bisa saya lihat? Mungkin sisa batu tua, atau tempat yang masih bisa diteliti?” Tua Makan berdiri, lalu menunjuk ke luar. “Kamu datang, bukan karena proyek. Tapi karena kamu tahu kami bukan batu yang bisa dipotong. Ikuti aku. Dan jangan ambil gambar.”

Lihat selengkapnya