JALAN YANG TERBELAH

Eko Broto Budiarto
Chapter #11

Bab 11 - Pesan dari Masa Lalu

Langit di atas Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, terasa berat sore itu, seperti menyimpan rintik hujan yang tak sabar turun. Boe duduk di dalam mobil tua yang ia sewa dari bandara Polewali, menyusuri jalanan berliku yang dipagari bukit-bukit hijau dan kabut yang turun perlahan. Tujuannya adalah Dusun Banea, sebuah dusun yang sejak zaman Belanda telah dikenal sebagai penghubung jalur kuda antar pedalaman Toraja dan wilayah pesisir barat. Jalur itu dulu sempat ditinggalkan karena medan berat dan ketidakterhubungan, tapi kini pemerintah provinsi mencoba menghidupkannya kembali sebagai jalur logistik alternatif. Masalahnya, proyek yang seharusnya berjalan sudah dua kali mangkrak karena perselisihan teknis dan tuntutan adat.

Surat yang datang padanya kali ini datang dari seorang guru tua bernama Lanto—sahabat almarhum ayah Boe semasa pendidikan di Makassar. Surat itu ditulis tangan, memakai bahasa Bugis bercampur Toraja, dan pada paragraf terakhir hanya tertulis: “Boe, ada pesan untukmu. Bukan dari saya. Tapi dari orang yang kau hormati, dan yang pernah meninggalkan sesuatu di lereng itu, bertahun-tahun lalu.”

Boe tidak tahu pasti siapa yang dimaksud, tapi hatinya langsung teringat pada satu nama: Septa Kurniati. Dulu, semasa kuliah, Boe dan Septa pernah melakukan penelitian kecil di lereng Banea, mengambil data tanah dan sistem pertanian di lahan miring. Mereka mencatat semua dalam satu buku tulis tebal bergaris biru yang waktu itu tertinggal entah di mana, mungkin di rumah warga, mungkin dibawa kembali ke Makassar. Tapi setelah kepergian Septa karena lupus, Boe tak pernah lagi menyentuh proyek atau catatan yang mereka buat bersama. Hingga surat dari Lanto itu datang dan membuka kembali lembaran yang selama ini ia kubur dalam kerja dan tugas.

Begitu ia tiba di rumah kayu milik Lanto, Boe disambut oleh lelaki tua kurus dengan mata yang tetap tajam meski tubuhnya ringkih. Lanto tidak banyak basa-basi. Ia hanya mempersilakan Boe duduk dan menyerahkan sebuah map plastik bening berisi lembaran lusuh, sebagian terlipat, sebagian lembap. Boe membukanya perlahan. Di dalamnya, ia menemukan halaman demi halaman tulisan tangan milik Septa, lengkap dengan sketsa lereng, peta kontur, dan analisa konservasi air yang mereka buat saat usia mereka belum genap dua puluh lima tahun. Di pojok kanan bawah halaman terakhir, ada tulisan yang ditulis dengan tinta biru muda: “Jika suatu saat Boe kembali ke sini, tanamlah kembali yang pernah kita tanam bersama. Bukan pohon, tapi kepercayaan.”

Boe terdiam. Matanya menatap huruf-huruf itu lama, seakan mencoba mendengar suara yang sudah lama tak ia dengar. Ia lalu bertanya pelan, “Dari mana Bapak dapat ini?” Lanto menjawab, “Seorang warga temukan di rumah tua yang terbakar setengah. Disimpan di loteng. Lalu satu hari sebelum meninggal, ibunya bilang, ‘Kalau jalan itu mau dibuka, kembalikan dulu surat itu ke orangnya.’ Dan sekarang, kamu di sini.”

Lihat selengkapnya