JALAN YANG TERBELAH

Eko Broto Budiarto
Chapter #12

Bab 12 - Jalan yang Tak Lagi Terbelah

Hujan turun deras ketika Boe menginjakkan kaki di Bandara Mopah, Merauke, Papua Selatan. Bau tanah basah yang menyambutnya membuat kenangan lama seolah menyembul kembali dari balik kabut. Ini bukan kali pertama Boe datang ke Papua, tapi kali ini hatinya terasa lebih berat. Bukan hanya karena medan yang akan ia hadapi, melainkan karena jalan yang akan ia kerjakan adalah jalan yang menyimpan luka lama bagi masyarakat setempat.

Proyek kali ini adalah pembangunan jalan sepanjang 14 kilometer yang menghubungkan Distrik Muting ke Kampung Elikobel, yang selama ini terisolasi karena medan rawa dan tanah gambut yang tidak stabil. Jalan ini dulunya pernah dibuka tahun 1998 oleh program pemerintah pusat, namun hanya bertahan tiga tahun sebelum akhirnya ditelan banjir dan longsor. Warga menyebutnya “Jalan Terbelah”, karena jalan itu seolah memisahkan dua komunitas besar di wilayah perbatasan—suku Marind di sisi utara dan suku Muyu di selatan—yang memiliki sejarah panjang benturan sosial dan perebutan wilayah adat.

Boe menerima tugas ini bukan karena ia yakin bisa menyatukan semuanya, tapi karena ia percaya bahwa proyek ini tidak boleh gagal lagi. Sudah terlalu lama masyarakat setempat hidup dalam keterpisahan, saling curiga, dan menanggung beban kesulitan logistik. Harga barang di Kampung Elikobel dua kali lipat dari Muting, anak-anak sekolah harus menyeberang rawa dengan perahu motor yang kadang mogok di tengah jalan, dan ambulans tidak pernah sampai tepat waktu.

Begitu tiba di pos proyek, Boe langsung meninjau trase jalan lama yang kini hampir tidak tampak. Yang tersisa hanya jalur tanah licin berlumut dan bekas gorong-gorong yang amblas. Ia berdiri di pinggir rawa, memandangi alat berat yang terparkir diam, menunggu izin dan keputusan baru. Beberapa warga berdiri tak jauh, sebagian bersandar di batang pohon, sebagian mengawasi dengan pandangan datar. Di antara mereka ada dua kepala kampung: Kepala Kampung Elikobel, Bapak Yoas Maramba, dan Kepala Adat dari sisi Muyu, Bapak Kaleb Orait. Mereka berdiri berjauhan, tidak saling menyapa.

Rapat pertama berlangsung tegang. Kaleb menyatakan bahwa jalan baru akan melewati tanah suci mereka yang dahulu digunakan sebagai tempat upacara leluhur. Sementara Yoas bersikeras bahwa jika trase dialihkan terlalu jauh, maka jalan akan kembali melewati rawa aktif dan kemungkinan gagal lagi seperti sebelumnya. Di luar ruangan, suasana tak kalah panas. Ada bisik-bisik dari warga yang mulai menolak proyek, sementara sebagian lagi sudah telanjur berharap besar karena beberapa rumah warga telah dikosongkan untuk pembebasan lahan. Di sisi lain, pelaksana proyek mulai putus asa karena alat berat tak bisa digunakan tanpa kepastian arah trase.

Lihat selengkapnya