JALUR ILEGAL

Hendra Wiguna
Chapter #9

Mayat yang Tak Dikenali

Aku bergegas mengikuti dia yang entah akan ke mana. Setiap kali muncul di balik kabut, dia diam berdiri lalu berjalan kembali. Sepertinya memang ingin aku mengikutinya dan mungkin ingin menunjukan sesuatu padaku dengan mengarahkan aku ke suatu tempat. Ketika dia kembali muncul, aku memperhatikan dia seperti sedang mencari-cari sesuatu.

Jalan yang aku lalui mulai mengarah turun. Melewati batu-batu besar dan jalan berpasir, sesekali pohon edelweis terlihat, menandakan kalau aku masih masih di sekitaran puncak.

Namun, semakin berjalan turun aku sadar bahwa itu sudah berada di area hutan. Angin pun sudah tak terasa kencang lagi dan kabut-kabut mulai semakin tipis. Aku masih berjalan mengikutinya di antara pohon-pohon sambil sesekali berteriak memanggil namanya.

Hingga di suatu titik di mana aku lihat dia berdiri diam di antara semak-semak bawah pohon. Sekali lagi aku memanggilnya dan kali ini dia tidak beranjak. Ia berdiri mematung sambil melihat ke arah semak-semak itu.

"Angga! Ada apa? Ayo kembali, ini sudah sore! Nanti kita kemalaman kalau akan kembali ke tenda!" teriakku.

Namun, Angga tetap terdiam dan masih menatap ke semak-semak itu. Kemudian ia mengangkat tangannya dan menunjuk dengan jarinya dengan pelan area semak-semak itu.

Karena penasaran aku pun mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang dia lihat. Aku menghampirinya dan menengok ke arah yang ditunjukkan. Aku terkejut hebat ketika melihat seonggok mayat yang terbaring di sana. Mayat berpakaian pendaki yang sudah pucat hampir membusuk hingga wajahnya pun tidak dapat dikenali.

"Astaghfirullah!! Kenapa ada mayat di sini? Kita harus lapor penjaga gunung ini!" Aku benar-benar panik waktu itu.

Namun, dengan tenangnya kawanku itu malah bertanya. "Dani, kau tahu mayat siapa ini?"

Aku menggeleng. "Ti-tidak. Apa kau mengenalnya?" tanyaku. Kemudian aku berpikir sesuatu dan bertanya padanya karena ada yang janggal. "Kenapa kau bisa tahu kalau ada mayat di sini?"

Dia menengok kepadaku dan memasang wajah sedih. "Kau tak mengenalnya? Ini tubuh Putra."

"Putra? Siapa Putra?"

"Teman mendaki aku," jawabnya. "Bukankah kau sering melihat kami di media sosial?"

Seketika aku mengingat kembali wajah teman yang dia maksud, wajah yang sering dia posting bersama di Instagram. Dan ketika melihat lagi wajah mayat itu, sungguh aku bergidik melihat kulit wajahnya yang sudah pucat biru membusuk tak dapat dikenali.

"Ah. Aku tidak peduli. Sekarang ayo kita kembali ke tenda. Ini sudah mau Maghrib! Besok pagi kita turun gunung untuk melaporkan ini ke penjaga gunung."

Lihat selengkapnya