Saat melewati kebun-kebun warga untuk menuju basecamp, aku sempat melihat pria bergamis hitam dengan ikat kepala batik itu lagi. Entah kenapa, setiap kali aku menjumpainya, pakaiannya selalu sama. Dia menyunggingkan senyum padaku ketika mendapati aku kembali lagi ke sana.
Suara adzan magrib terdengar dari pemukiman warga, bersahutan dari berbagai arah. Langit sudah tampak gelap tanpa ada matahari sore yang biasa menghiasi magrib. Awan-awan hitam menutupi mengiringi hujan yang semakin mendekati area basecamp semakin ringan. Hingga aku sudah di tempat parkir, hujan sudah reda.
"Kamu lagi!" ucap sang petugas loket pendaftaran di sana.
Aku hanya bisa tersenyum dan langsung mendaftar. Aku tidak heran dengan sikap sang petugas itu. Mungkin sudah lima kali aku bertemu dengannya setahun ini. Dia menggelengkan kepala saat mencatat informasi data milikku di bukunya.
"Ini, Bang, uangnya." Aku menyodorkan selembar sepuluh ribuan kepadanya.
"Belum kapok ya kamu, Bang? Apa kamu benar-benar yakin dia tersesat di gunung ini?"
"Kalau aku bilang yakin pun, Abang tidak akan mencarinya juga, kan? Ya sudah aku cari sendiri. Ini adalah yang terakhir kalinya aku mencari. Kalau tidak ada, aku akan mengikhlaskannya."
"Bagus."
Dia pun menyodorkan tiket simaksi bukti pendaftaran padaku. Dua orang petugas lain yang berjaga di pos pun melihat heran padaku, menggeleng. Aku tahu apa yang ada di pikiran mereka.
Namun, aku tidak memperdulikannya. Aku langsung menuju musholla yang ada di sana untuk menjalankan salat Maghrib. Sebenarnya aku bukan orang yang rajin salat, tetapi waktu itu entah kenapa sesuatu menggerakkan aku untuk melaksanakan ibadah wajib itu.
Selesai salat, aku bergegas menuju salah satu warung yang ada di sana, sebelum nanti akan menggelar lapak tenda di tanah perkemahan di atas.
Aku bertemu dengan seorang pendaki lain. Dia adalah lelaki berjaket merah yang tadi satu bus bareng aku. Aku duduk di sana, memesan makan dan minum.
Aku ingin sekali menyapa lelaki itu, tetapi dari wajahnya, sepertinya dia bukan orang yang ramah. Entahlah, wajah itu pucat, dahinya tampak selalu mengernyit ketika memandangku, seperti ada kebencian. Seakan ada aura negatif, yang membuatku berpikir harus menjauh darinya.
Tak lama kemudian, dua orang pria yang entah dari mana datang bersama keril yang dibawanya. Tidak seperti lelaki berjaket merah itu, dua pria ini ramah menyapaku. Kami pun berkenalan dan ternyata mereka lah yang mengirim aku video itu. Sontak aku terkejut.
Nama kedua pria itu Bang Deden dan Bang Alif. Seperti yang aku duga mereka adalah YouTubers khusus pendakian, walau masih dengan jumlah subscribers yang sedikit. Dia pun memperlihatkan video yang mereka temukan saat menelusuri hutan itu.
"Astaga!"
"Apakah ini orang yang kamu maksud, Bang?" tanya Deden yang berbadan agak besar dan tinggi.