Aku bergegas pergi menyusul mereka yang sudah dahulu berjalan di depan. Ketika hendak menyalakan headlamp untuk menerangi jalan, tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang. Itu adalah salah satu petugas yang ada di sana.
"Hey, kalian berlima mau ke mana? Mau naik sekarang? Ini sudah malam!" tegasnya sambil menodongkan lampu senter ke arah wajahku.
"Iya, Pak. Kami tidak akan buru-buru. Kami sudah biasa kok, Pak." Aku hanya bisa tersenyum getir kepada petugas itu, sebab tak tahu harus berkata apa lagi.
"Kalau ada apa-apa, kami juga yang repot!" tegasnya lagi. Wajahnya terlihat sangat serius dengan apa yang dikatakannya.
Namun, aku sudah tidak bisa beralasan apa-apa lagi. Kemudian segera pamit dengan canggung menganggukkan kepala kepada petugas itu dan pergi berjalan menyusul mereka.
Saat melangkah kembali, aku merasa ada yang aneh dengan ucapannya. Tunggu! Apa aku tidak salah dengar tadi. Berlima? Petugas jaga itu bilang kami berlima? Aku pun langsung berhenti berjalan lagi. Seketika aku bergidik ngeri. Saking ngerinya, semilir angin yang menggoyangkan dedaunan dan ranting-ranting pohon saja mampu membuat nyaliku ciut.
Lalu aku melihat ke sekitar dengan perasaan was-was. Hanya kegelapan yang tampak, selain cahaya dari lampu headlamp yang tak seberapa terang. Aku menghela napas berat. Karena takut tertinggal jauh, aku pun segera berjalan kembali diiringi bulu kuduk yang bergidik ngeri.
Kupercepat langkah. Ketika sudah berada di dekat mereka, aku menghitung berapa orang yang sedang berjalan di depanku. Aneh. Aku menghitung hanya Bang Deden, Bang Alif, pendaki berjaket merah itu yang sudah agak jauh di depan sana, dan aku sendiri. Empat! Hanya empat! Lalu siapa yang kelima?
"Kenapa, Bang?"
Tiba-tiba saja seonggok wajah muncul di hadapanku tepat di ujung sorot cahaya lampu membuatku terkejut. Seketika mataku melotot. "Astaghfirullahaladzim!"
"Astaga! Maaf, Bang." Ternyata wajah itu milik Bang Deden. "Kenapa? Kayak yang sudah lihat hantu saja kamu, Bang." tanyanya.
"Iya, hantunya elu!" gurau Bang Alif.
"Elu juga!"
"Dah lah. Kita sama-sama hantu kalau gitu."
"Emang!"
Kemudian, keduanya saling menertawakan satu sama lain. Aku tidak tahu di mana letak lucunya. Mengingat kami sedang di tengah hutan, mendaki malam hari, dan sedang mencari jasad orang yang sudah mati, aku pikir itu tidak ada lucu-lucunya sama sekali.
"Kenapa, Bang?" tanyanya lagi. Wajah seram yang tadi kulihat sudah tak terlihat lagi, berganti wajah konyol yang sama sekali tidak lucu.
Aku sempat berpikir untuk menceritakan apa yang petugas itu katakan. Akan tetapi, alih-alih memberitahu mereka, aku mempertanyakan hal lain. "Kenapa kita mendaki sekarang? Bukankah Abang bilang kalau kita akan melalukan pendakian esok hari dengan mengambil jalur ilegal itu?" tanyaku.