Aku merasa baru saja terlelap dalam tidurku, tetapi seseorang di luar sana memanggilku agak berteriak untuk membangunkan aku. Terpaksa aku beringsut dari tempat pembaringan dalam kantong tidur khusus berwarna hitam.
"Bang? Abang Dani?" Panggil seseorang di luar sana sambil menampar-nampar pintu tenda. Dengan segera aku membukanya. "Ayo, Bang, kita ke puncak," ajaknya.
Aku mengangguk walau masih dalam keadaan setengah sadar. Aku pun bangkit dan keluar dari kantung tidur kemudian bersiap untuk mengemas barang yang perlu dibawa untuk mendaki ke puncak.
Jam di ponsel pintar menunjukkan hampir pukul 4 subuh, ketika aku sudah siap. Di luar, aku melihat pendaki berjaket merah itu juga baru keluar dari tendanya. Dia tampak kusut dengan wajahnya yang lelah, tetapi tidak lagi pucat seperti kemarin. Malah dia terlihat sudah berkeringat seperti kegerahan, padahal hawa di pos tiga ini sungguh dingin.
"Ayo, semua sudah siap. Kita berangkat sekarang!"
Kami pun segera memulai langkah pertama dalam pendakian. Bang Deden dan Bang Alif berada di depan memandu jalan aku dan tepat di belakangku, Indra mengikuti. Entah kenapa, aku merasa seperti ada yang tidak beres dengan pendaki berjaket merah itu. Dirinya terlihat kelelahan meskipun pendakian baru saja dimulai.
Sampai sekarang aku masih belum berani berbicara padanya. Wajah itu masih saja membuatku enggan menyapa dirinya. Perangainya pun tidak terlalu aku tidak suka.
Ketika kaki mulai lelah melangkah naik, entah kenapa aku merasa sesuatu sepertinya sedang memperhatikanku. Ada hawa yang tidak enak muncul yang entah dari mana. Aku berpikir mungkin itu pendaki di belakangku. Karena penasaran, aku sengaja berhenti sejenak bersandar pada pohon sambil menghirup udara segar dan minum air mineral. Sesekali menengok ke belakang.
Agak lama aku beristirahat, karena aku ingin membuat pendaki berjaket merah itu berjalan di depanku berganti posisi. Ketika dia melintasi aku, wajahnya yang selalu tampak mengernyit, melihat tajam padaku. Sekilas saja, lalu ia kembali berjalan. Tak lama, aku pun meneruskan perjalanan kembali. Sekarang aku yang bergerak di belakang pendaki berjaket merah itu.
Akan tetapi, aku masih tetap saja merasakan ada seseorang yang memperlihatkan. Saat menengok ke belakang, tidak ada siapapun kulihat, hanya kegelapan hutan. Lalu aku terpikirkan tentang orang kelima itu lagi.
Deg! Nyaliku ciut kembali. Pundak bergidik ngeri. Ingin sekali aku menyusul dan menyalip pendaki berjaket merah itu lagi, tetapi ia sudah agak jauh di depan.
Lalu terdengar seperti sesuatu -atau seseorang- berjalan melangkah naik dari belakang. Sepertinya memang ada pendaki lain. Namun, aku sangat yakin, saat menengok ke belakang tadi tak ada siapapun lagi kulihat. Dan semakin lama, suara itu semakin dekat. Takut sekaligus penasaran. Aku pun mencoba memberanikan diri untuk menengok ke belakang. Perlahan, dan ... benar-benar tidak ada siapapun!
Kali ini aku takut setengah mati. Aku percepat langkah dan menyusul pendaki berjaket merah itu, bahkan aku menyusul Bang Alif dan bang Deden hingga bergerak di depan mereka.
Aku tidak tahu kenapa. Sudah berkali-kali melakukan pendakian gunung untuk mencari Angga, tetapi baru kali ini aku mengalami ketakutan seperti ini. Aku bukan orang yang percaya hantu, sebab itulah dulu aku tak percaya kalau Angga sudah meninggal dan mendaki bersamaku. Akan tetapi, pengalaman ini sungguh membuatku berpikir kalau mereka memang ada.
•••••
Sesuai rencana, setelah menikmati matahari terbit di Puncak Gunung Ciremai, kami berencana akan pergi menelusuri jalur ke tempat di mana aku menemukan mayat dahulu. Meskipun sudah berkali-kali ke sana dan hasilnya nihil, tetap aku berharap kali ini kami bisa menemukan petunjuk.