Aku terkejut melihat kemunculan pendaki berjaket merah itu dari balik semak-semak dengan wajah geram serta mata memutih hampir seluruhnya, dan mulut menganga lebar. Hingga aku terjatuh ke belakang saat melangkah mundur dengan cepat.
Bahkan pendaki perempuan langsung menjerit histeris saat mengetahui kalau tak jauh dari tempat duduknya muncul sosok menyeramkan itu. Tak hanya dia, beberapa pendaki yang sedang duduk-duduk pun terperanjat begitu menengok ke arah sosok pendaki berjaket merah itu.
Mereka pun berlarian dan segera bersembunyi di balik pohoh. Sesekali terdengar suara tangis ketakutan dari mereka. Aku yang masih menatap pendaki berjaket merah itu tak bisa berbuat apapun selain menahan napas.
Lalu, tiba-tiba saja, wajah pendaki berjaket merah itu berubah normal kembali. Dirinya tampak linglung setelahnya, menegok ke pelbagai arah, seakan tak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya sendiri. Kemudian ia tersungkur jatuh dengan lutut menempel di tanah.
"Maafkan aku ... maafkan aku ... maafkan aku...." ucapnya yang terdengar seperti akan menangis kemudian tertunduk lesu.
Menyadari dia sudah tidak lagi kerasukan, aku langsung bangkit dan berdiri. Akhirnya aku bisa mengambil napas panjang walau masih agak berat. Keringat mengucur deras dari dahi ke pelipis yang lantas aku seka dengan tangan kotor bekas menggali tanah itu.
Saat mendengar kata-katanya, aku tahu kalau apa yang kucurigai itu benar, bahwa dirinya telah membunuh orang, membawanya dalam kantong plastik dalam tas keril, dan menguburkannya di hutan sana. Aroma melati dan alkohol itu pastilah dari parfum yang berguna untuk menyamarkan bau anyir daging.
Aku pun berjalan menghampiri pendaki berjaket merah itu yang masih berlutut menunduk lesu.
"Kau yang menguburkan jasad itu, kan?"
Mendengar pertanyaan yang aku lontarkan, dirinya langsung mengangkat kepalanya dan berkata, "Bukan aku yang membunuhnya ... bukan aku yang membunuhnya ... bukan aku yang membunuhnya!" ucapannya.
"Terus siapa?"
Ia berhenti berkata-kata, lalu terdiam melamun dengan mata melotot, tak lama kemudian terkekeh-kekeh sambil berkata, "Aku yang membunuhnya ... aku yang membunuhnya ... aku yang membunuhnya...." Lelaki di hadapanku terus saja mengulang perkataannya sambil tertawa tapi terdengar seperti akan menangis.
Aku tidak mengerti dengan apa yang dia maksud. Sebab sebelumnya ia berkata bahwa dia bukan pembunuhnya, tetapi sekarang dia berkata kalau dia bukan pembunuhnya. Namun, sebenarnya aku peduli. Karena yang pasti aku tahu kalau dia yang menguburkan jasad yang sudah terpotong-potong itu.
Walaupun dengan kondisi tubuh yang sudah lelah, aku berniat untuk membawanya turun dan melaporkan ke petugas jaga tentang apa yang terjadi.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Saat akan mengambil tas kerilku, tiba-tiba saja seorag berpakaian kemeja gunung hitam khas petugas datang. Dengan handy-Talky di tangan, ia muncul bersama dua orang lainnya. Aku tahu ia adalah ranger gunung Ciremai yang memang biasa berpatroli dari pos ke pos untuk melihat kondisi pendakian.
"Ada apa ini?" tanya Pria bertopi gunung berwana hijau itu.
Dengan terengah-engah aku pun menjawab. "Di sana ada mayat, Pak. Ada yang kesurupan. Dan orang ini, dia menguburkan mayat, Pak" jelasku.
"Orang ini?" tanya sang ranger sambil menunjuk pendaki berjaket merah itu.
"Iya, Pak.'
Dia mengangguk-angguk. "Pos lima, pos lima, di sini ada mayat yang harus dievakuasi. Tolong berangkatkan tim untuk membantu, ganti," ucapnya melalui Handy-Talky. "Pantas saja kau kabur begitu melihatku di pos bawah sana, dan entah kenapa kau naik lagi tergesa-gesa. Aku curiga makanya aku ikuti kamu," ucap petugas itu.