JALUR ILEGAL

Hendra Wiguna
Chapter #16

Pendakian Terakhir

Meski hati ini masih diliputi dengan keraguan, tetapi aku memutuskan untuk turun di stasiun berikutnya, Kiaracondong, dan langsung mencegat angkutan umum yang akan mengantarkan aku ke Terminal Leuwipanjang. Di sana aku menaiki bus untuk berangkat langsung ke sebuah desa di mana jalur ilegal itu berada sesuai apa yang ditunjukkan oleh video itu.

Di dalam bus, aku merasa gamang. Apakah yang aku lakukan itu benar atau tidak. Aku memilih untuk melakukan pendakian terakhir dengan resiko yang mungkin saja aku mengalami nasib yang sama dengan Angga atau kedua youtuber itu.

Mereka sudah meninggal. Aku tahu itu. Tetapi, entah kenapa setengah dalam diriku seakan menggiring untuk melakukan pendakian ini, pendakian terakhir untuk mencari keberadaan jasad kawanku.

Aku mungkin sudah gila. Ya, mungkin aku sudah gila. Tetapi aku tak peduli. Aku sudah berjanji pada sahabatku untuk mencarinya. Aku mencintai calon istriku. Mungkin dirinya akan bersedih dan marah jika mengetahui aku memilih melakukan ini. Iya, aku mengambil resiko itu.

Aku memutuskan untuk tidak memberitahu siapapun tentang pendakian ini. Keluarga, Kakakku dan suaminya tahu aku sedang berangkat ke Surabaya, dan aku tidak akan mengabarkan ini pada kekasihku, karena mereka tidak akan setuju.


•••••


Aku turun di sana. Hari masih sore ketika bus tiba di Terminal Maja. Di sana aku akan menaiki ojeg dan meminta untuk mengantarkan diriku ke desa yang ada dalam video.

"Wah, nggak bisa, Bang. Ini jauh. Terpencil pula," ucap sang tukang ojeg setelah aku memberitahu nama desa itu.

"Ayo lah, Bang. Aku tidak punya banyak waktu untuk berdebat. Kalau Abang mau saya kasih lima puluh ribu."

"Lima puluh? Mana bisa. Ini jauh sekali, Bang."

"Ya sudah, maunya berapa?"

"Tiga ratus ribu, Bang. Sekalian mau isi bensin dulu. Takut di sana mogok. Lagipula jalan ke sana masih tanah berbatu. Nggak bakal kuat motor saya, Bang."

Sempat aku berpikir sebentar untuk mencerna segala sesuatunya. Mungkin uang itu sepadan dengan Jalur yang akan kami lalui. "Oke, Bang. Tiga ratus ya?"

"Oke," sahutnya. "Kalau boleh tahu, Abang mau apa ke desa itu? Cari dukun?" tanyanya sembari memberikan helm. Aku menggeleng dan memilih untuk tidak menjawabnya.

Kemudian, berangkatlah aku menggunakan motor tukang ojeg menuju desa itu. Di salah satu sudut jalan raya yang agak sepi, motor sempat berhenti. Sang tukang ojeg menoleh ke sana ke mari, seperti sedang mencari-cari jalan.

Aku memperhatikan dia dari spion mobil. "Abang tahu jalannya?" tanyaku.

"Tahu. Tapi sudah lama aku tidak pernah ke desa itu, Bang. Jadi agak linglung nih."

"Terakhir ke sana kapan emangnya?"

Sejenak dia terdiam. "Waktu aku masih sekolah, Bang."

Aku sedikit tercengang dengan jawabannya. Sebab, aku melihat pria ini cukup tua untuk dibilang bapak-bapak. Berarti sudah sangat lama dia tidak pergi ke desa itu.

"Sebenarnya Abang tahu nggak jalannya?"

"Tahu, tahu, Bang," jawabnya. Kemudian ia melajukan motor kembali.

Hingga kami tiba di sebuah gang kecil dengan jalan tanah. Gang itu berada di pinggiran jauh dari pemukiman kota, dan jalan aspal itu adalah jalan aspal terakhir yang aku lihat sebelum kami menelusuri jalan tanah berbatu itu.

Lihat selengkapnya