JALUR ILEGAL

Hendra Wiguna
Chapter #18

Hilang Arah

Aku lepaskan keril dari punggung dan meletakkannya di bawah pohon, kemudian mencari lapak tanah untuk membuat tenda. Sore itu sangat sepi. Benar-benar sepi. Walaupun keheningan hutan seperti itu adalah yang para pecinta alam cari, tetapi untuk kali ini aku sangat tidak nyaman dengan ketiadaan suara itu dan malah mengganggu suasana hati yang memang sedang tak tenang.

Aku menengadahkan wajah dan melihat lebatnya dedaunan di atas sana, menghalangi matahari senja yang berebut masuk seperti ingin menembus kerapatan ranting-ranting yang mencengkram rerimbunan. Kuembuskan napas panjang, mencoba menyerap kesegaran udara tengah hutan, mencoba mengabaikan luka-luka di sekujur tubuh akibat terjatuh berkali-kali di tanjakan tanah berakar lebat itu.

Setelah menemukan lapak tanah itu, aku kembali terduduk di bawah pohon di samping keril. Ku lepaskan sepatu agar leluasa bergerak saat memasang tenda. Alangkah terkejutnya aku, ketika mendapati pacet atau lintah menempel di pergelangan kaki. Tidak hanya di sana, setelah kuperiksa, lintah-lintah itu juga menempel dari betis sampai paha.

Aku mencoba untuk tidak panik. Lintah-lintah itu mungkin menempel pada saat aku terjatuh di sungai. Itu berarti selama mendaki menelusuri tanjakan tanah berakar curam itu, binatang tidak bertulang belakang yang biasa tinggal di hutan basah itu sedang menyedot darah. Aku ambil pemantik api dan menyalakannya untuk melepaskan lintah-lintah itu dengan membakar ujungnya agar mudah terlepas.


•••••


Ketika malam tiba, aku berusaha untuk tetap berada di dalam tenda. Ternyata keheningan hutan sore tadi bukan satu-satunya yang bisa mengganggu suasana hati, tetapi suara-suara binatang malam yang saling menyahut dari berbagai arah rimba juga bisa membuat hati gelisah. Aku mencoba berbaring diselimuti pakaian-pakaian ganti -yang aku bawa dalam keril saat berniat pergi ke Surabaya- agar badan tetap hangat.

Namun, semakin lama aku memejamkan mata, semakin jelas suara-suara binatang malam itu berkelindan dalam pikiranku. Jiwaku gelisah.

Lalu tiba-tiba saja terdengar seperti suara ranting patah dan daun-daun yang terinjak. Seketika aku membuka mata dan langsung mencermati suara apa itu.

Ingin aku nyalakan lampu ponsel yang sedang aku cas menggunakan power bank hitam milikku. Akan tetapi, aku tahu jika aku melakukannya dan jika yang ada di luar sana adalah macan yang sedang mengintai, itu hanya akan membuat binatang buas itu mendapatkan perhatian. Maka aku tetap tenang dan tak bersuara sedikit pun. Walaupun aku menyadari bau badanku juga akan membuatnya tahu keberadaanku.

Di sepanjang malam itu aku benar-benar tak bisa tenang. Aku mencoba membaca surat-surat Al-Qur'an yang kuhapal, berharap kegelisahan itu lenyap. Hingga akhirnya aku tertidur dalam tenda, di antara kegelapan malam tengah hutan.

Lihat selengkapnya