Aku terus mengikuti tiga pendaki itu dari belakang. Berjalan dengan kondisi terpincang-pincang. Sesekali mereka menengok ke arahku, tersenyum, lalu menggerakkan tangan seakan menyuruhku untuk mempercepat gerakan. Aku tahu, mereka akan menunjukkan sesuatu, dan aku harap itu adalah mayat Angga.
Aku terkejut ketika mendapati ada mayat lagi yang teronggok dan tidak hanya satu. Aku menghitung ada tujuh mayat di sepanjang jalan setapak itu dengan kondisi tubuh yang hampir sama: hitam membusuk dan bagian perut terkoyak-koyak. Itu adalah yang aku lihat, mungkin masih ada lagi mayat yang tak terjangkau mata.
Aku keluarkan ponsel untuk merekam semua itu. Perutku mulai merasa mual dan ingin muntah, tetapi karena memang tak ada isi di dalamnya, rasa mual itu hanya membuat rasa perih dan kejang. Meski sambil merekam, aku coba mengabaikan mayat-mayat itu dan terus berjalan mengikuti tiga arwah pendaki yang sepertinya menuntunku ke suatu tempat.
Entah ada apa dengan kondisi tubuhku, setelah mual itu, aku tidak merasa panas walau matahari di atas sana terik menyinari, dan juga tidak merasa dingin meski kabut tipis menyelimuti siang.
Setelah jauh berjalan dan menanjak, akhirnya aku melihat sebuah tebing yang sangat tinggi. Aku langsung terpikir kalau itu adalah tebing yang dulu pernah aku lihat, di mana tak jauh di atas sana adalah puncak gunung. Aku merasa lega, walaupun sebenarnya bukan itu yang kucari, tetapi setidaknya aku menemukan jalan pulang.
Kemudian aku berlari menghampiri ketiga pendaki arwah itu yang sudah berdiri di depan tebing, tepat di celah antara dua batu besar yang tinggi. Mereka seakan ingin menunjukkan sesuatu. Dan benar saja, seperti yang sudah kuduga, ada tengkorak yang hampir retak dan tulang belulang yang sudah menghitam di sana. Aku yakin itu Angga.
Entah apa yang aku rasakan sekarang. Sebagian diriku menjadi lega, tetapi sekaligus miris dengan apa yang aku lihat. Hatiku tersayat-sayat saat memperhatikan posisi tengkorak itu yang terbalik diapit dua tebing dalam celah yang sangat sempit. Aku yakin, Angga sedang berusaha memanjat di dinding tebing ini tanpa peralatan tali temali, hingga terjatuh dengan posisi kepala terlebih dahulu dan terjebak di sana.
Aku menoleh ke arah tiga arwah pendaki itu dan menatap Angga yang sedang tersenyum padaku. "Maafkan aku ... maafkan aku, Angga," ucapku lirih. Tanpa terasa air mata yang sedari tadi terbendung mulai mengalir. Kemudian aku berjalan menghampiri dan memeluknya. "Maafkan aku," ucapku sekali lagi.
"Terima kasih sudah mencari aku, Dani," bisiknya.
Aku menahan tangis di pelukanya yang erat. "Karena aku sudah berjanji padamu, Angga, maka aku tepati!"
Pelukan itu tidak hangat, melainkan dingin dan hampa, seolah-olah aku merasakan penderitaannya selama dia berada terjebak di celah sempit dua tebing itu. Aku tahu ada sesuatu yang belum terselesaikan. Namun, aku tak peduli itu, yang ingin aku lakukan hanya memeluk penderitaannya.
Hingga, ketika aku membuka mata, mereka menghilang. Sembari menahan sesak di dada, aku berbalik dan berjalan kembali menghampiri celah sempit itu. Aku keluarkan ponsel dan segera merekamnya. Paku berharap video-video yang aku ambil bisa menjadi bukti agar tim SAR mau mengevakuasi semua mayat-mayat itu, termasuk jasad Angga.
Sekarang yang aku pikirkan, adalah bagaimana cara agar aku bisa naik ke atas tebing sana dan sampai di puncak, itu adalah satu-satunya jalan pulang, karena sangat mustahil bagiku untuk kembali turun lewat jalur ilegal itu.
•••••