JALUR ILEGAL

Hendra Wiguna
Chapter #23

Turun Gunung

Tentu saja aku panik. Namun, setelah memperhatikan mereka, sepertinya hanya aku yang tidak mengalaminya. Dalam keadaan was-was, aku pun mulai berjalan mundur, berbalik, lalu segera berlari menjauh dari mereka menuju batu tebing itu. Aku berniat akan memanjat tebing itu dengan melewati seberang celah sempit itu.

Akan tetapi, sebelum mencapai tebing itu, aku teringat ponselku yang hancur. Aku pun berbalik dan kembali untuk mengambilnya, siapa tahu memory card di dalamnya tidak ikut hancur. Dan benar saja. Setelah aku pungut kembali dan membukanya, benda kecil penyimpan data itu masih utuh. Aku pun memasukkannya ke dalam saku dan langsung segera berlari kembali.

Aaaaaaarghhhh!

Tiba-tiba saja pekik suara teriakan panjang dan mengerung-erung terdengar dari arah mereka. Aku terkesiap dan berhenti berlari lalu berbalik untuk melihat apa yang terjadi. Rupanya mereka sedang mengamuk, bergerak tidak karuan, seperti ada yang sedang mengganggunya.

Tak lama setelah aku perhatikan dengan seksama, ternyata di antara kabut tebal itu, muncul tangan-tangan hitam raksasa yang sedang menggenggam tubuh mereka. Tidak hanya satu melainkan banyak. Dan ketika aku menengadah ke atas, samar terlihat tiga sosok wajah raksasa menyeramkan dengan tanduk hitam seperti domba. Wajah-wajah itu tampak melotot geram.

Aku terkesiap dan panik. Apakah sebenarnya yang aku lihat itu? Jin? Para penunggu hutan ini yang terganggu? Aku tak percaya dengan apa yang aku lihat.

Hatiku mulai ciut. Lalu satu wajah raksasa itu langsung melihat ke arahku. Panik. Aku pun segera berbalik dan berlari kembali menuju tebing itu.

Setelah sampai, aku langsung saja memanjatnya, membuat tumpuan kaki dan tangan di antara dua celah sempit tebing itu bergerak ke atas, dan menyeberangi dengan bergeser sedikit demi sedikit ke arah seberang tebing di mana tanjakan berbatu yang agak landai untuk naik ke puncak ada.

Sempat aku melirik ke bawah dan melihat tulang belulang dan tengkorak sahabatku. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi padanya. Namun, ini bukan waktunya bersedih. Aku harus naik ke puncak saat ini juga.

Setelah sampai di seberang tebing, aku langsung saja memanjat kembali, bergerak naik melalui tanjakan batu itu. Mendaki dan mendaki, hanya itu yang ada di kepalaku saat ini. Walaupun beberapa kali kakiku sempat terpeleset, tetapi akhirnya aku sampai juga di atas tebing itu.

Sempat aku menengok kembali ke arah bawah tebing untuk melihat para pendaki itu. Namun, kabut tebal menghalangi pandangan hingga aku tak melihat apa-apa lagi. Hanya sayup suara teriakan yang memekik dan menggerung-gerung terdengar pilu, menggema ke seluruh area bawah tebing.

Aku tidak tahu apa yang terjadi pada mereka selanjutnya, dan tak begitu peduli. Yang penting sekarang aku sudah mendapatkan bukti bahwa ada mayat-mayat di jalur ilegal itu untuk dilaporkan ke petugas gunung. Aku pun segera berjalan menuju puncak dan turun melalui jalur biasa dan melaporkan apa yang terjadi ke petugas.

Rupanya di puncak sedang terjadi badai. Namun aku nekat untuk menerjangnya. Di antara kabut-kabut dan angin kencang, aku berjalan menelusuri jalan setapak dengan jarak pandang terbatas.

Sudah berkali-kali aku mengunjungi puncak gunung ini, hingga membuatku hapal betul arah jalan menuju jalur biasa itu. Sampai tak membutuhkan waktu yang lama untuk menemukannya. Sambil membawa bukti di saku celana, aku pun mulai melangkah turun dengan sedikit terpincang-pincang.

Sebelum matahari terbenam, aku sudah harus berada di basecamp pos satu. Aku tidak ingin lagi bermalam di hutan, selain tidak ada peralatan, juga karena aku harus mengejar bus untuk pulang. Maka dari itu, aku mempercepat langkah untuk turun gunung melalui jalur biasa.

Lihat selengkapnya