"Hei, mau ke mana kamu!?" teriaknya.
Sepertinya mereka sudah mengetahui kalau aku menyadari sesuatu. Sempat aku menengok ke belakang dan melihat mereka langsung mengejar. Aku tidak tahu akan berlari ke arah mana sebab aku tahu di depan hanya ada tebing. Maka aku belok ke arah hutan di selatan dan masuk ke sana menembus rimbunnya pepohonan.
Berlari dan terus berlari dari para pendaki itu. Aku tak tahu apa yang aku lakukan itu benar atau tidak. Dari apa yang pendaki bersenjata itu katakan, aku takut dan mencurigai kalau mereka akan membunuhku, seperti apa yang mungkin mereka lakukan pada mayat-mayat itu.
Setelah lama berlari di antara semak-semak yang sesekali rantingnya menggores tubuhku, aku berhenti ketika melihat di hadapan adalah jurang yang tak terlalu dalam. Bingung. Apakah aku harus turun ke sana?
"Itu dia!"
Dor!
Teriakan dan suara tembakan dari arah belakangku seketika menggema ke pelosok hutan. Hal itu membuatku refleks melompat terjun ke dalam jurang tersebut. Pikirku, hal itu tak akan membuatku terluka. Dan benar saja, aku terguling-guling beberapa kali dan berakhir dengan punggung menghantam batu lalu tercebur ke genangan air yang dangkal di tepiannya. Namun anehnya, aku tidak merasa sakit sama sekali. Aku pun bangkit duduk dan berusaha bersembunyi di balik batu itu.
Saat itulah kecurigaanku terbukti. Suara tembakan itu bukan main-main. Mereka akan membunuhku! Tapi, kenapa? Batinku. Dengan pelbagai alasan yang terpikirkan di kepala, aku hanya bisa terus bersembunyi dari mereka.
Suara langkah-langkah terdengar dan berhenti tepat di atas tepi jurang. Aku memburu napas, walau tak kurasakan embusan itu lantas keluar, tertahan kepanikan yang teramat sangat. Aku takut. Aku tak mau mati di sini. Walaupun tubuhku sudah terasa terlalu lemah untuk sekedar bergerak, aku harus tetap bertahan.
"Hei, di mana kamu, Bajingan!" teriak salah satu dari mereka yang terdengar geram. Sekali lagi, teriakan itu langsung menggema ke seluruh pelosok hutan.
Kemudian, terdengar suara langkah sepatu menginjak tanah berhumus daun yang mengasruk-asruk. Sepertinya mereka sedang melangkah turun ke jurang melewati semak-semak. Sesekali umpatan-umpatan kasar keluar dari mulut mereka yang membuatku sadar kalau para pendaki itu benar-benar membenciku. Suara langkah itu terbagi menjadi dua arah: yang satu ke kanan dari letak batu ini, satu lagi kiri. Aku bergeming di balik batu. Panik. Tak tahu harus berbuat apa.
Sial. Rupanya salah seorang dari mereka menuju ke arah batu tempatku bersembunyi. Suara langkah itu semakin dekat. Aku terus bersembunyi, berharap dia tak menemukan aku. Namun, harapan tinggal harapan. Suara umpatan kembali terdengar tepat di belakang batu. Aku masih bergeming.