Deru mesin bus yang tidak nyaman di dengar mengawal perjalanan puluhan orang yang kini duduk berdesakan di dalam sebuah bus tua. Hampir dua jam sejak bus tua ini membawa mereka melalui jalan pedesaan yang landai dan berbatu. Belasan orang tampak asyik memandang keluar jendela meski pandangan mereka terhalang noda dan goresan yang nyaris mengerak hampir seluruh bagian kaca bus, sementara sisanya terlelap di bangku masing-masing dengan posisi tidur yang bermacam-macam.
Perjalanan ini cukup menyebalkan bagi sebagian penumpang terlebih saat bus tiba-tiba menukik tajam di sebuah tikungan lantaran ulah seorang pengendara motor berbonceng tiga yang berkendara ugal-ugalan. Panik, supir bus segera menginjak rem sekuat tenaga sehingga menyentakkan semua penumpang dari bangku mereka. Hampir seluruh penumpang yang sebelumnya tertidur pulas pun kini terbangun sembari menggerutu tak karuan. Suara melengking yang berasal dari kampas rem membuat semua orang mengernyitkan dahi sembari menutup telinga karena tak tahan dengan rasa ngilu yang menerjang telinga.
Setelah bus benar-benar berhenti, beberapa penumpang yang merasa kesal dan penasaran mencoba melongok keluar jendela untuk melihat pengendara ugal-ugalan tersebut, "Haha! Rasakan! Salah sendiri bawa motor tingkahnya sudah mirip orang kesurupan!" pekik salah seorang pemuda jangkung yang terlihat girang bukan kepalang usai mengetahui bahwa pengendara motor tersebut kini terjungkal bersama dua perempuan yang diboncengnya.
Beberapa penumpang yang merasa tertarik usai mendengar ucapan pemuda tersebut pun berbondong-bondong mengintip melalui jendela, memastikan kebenaran ucapan Si Pemuda. Dan memang benar, beberapa meter jauhnya dari bus, seorang laki-laki berusia 20-an terlihat sibuk memegangi pinggang sembari menarik motornya dari tengah jalan sementara dua perempuan yang ia bonceng terlihat kompak mengomel-omel tak karuan tanpa mau membantu.
Merasa tak ada yang perlu ia lakukan untuk menolong pengendara motor yang telah menghambat perjalanan mereka tersebut, kenek bus mencoba menenangkan seluruh penumpang dan mempersilahkan mereka kembali ke tempat masing-masing agar perjalanan bisa kembali dilanjutkan. Meski dengan menggerutu, semua penumpang kompak kembali ke posisi masing-masing karena ingin segera sampai di terminal dan turun dari bus yang menjengkelkan ini.
Usai memastikan semua telah kembali duduk di tempat masing-masing, kenek bus meneriakkan, "Lanjut!" yang sontak membuat supir bus kembali memacu mesin kendaraannya dengan kecepatan yang luar biasa pelan, menghindari kejadian tidak mengenakkan lainnya mengingat jalanan yang kini mereka lalui berbatasan langsung dengan tebing yang cukup curam.
Perjalanan kembali berlanjut. Beberapa penumpang yang sempat terbangun pun memutuskan untuk melanjutkan kegiatan tidur mereka sedang sisanya sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jarak yang cukup jauh serta kondisi jalan yang berbahaya membuat perjalanan yang mereka tempuh terasa sangat lama dan melelahkan. Hal ini diperparah dengan kebiasaan supir bus yang suka mengerem tiba-tiba, sempurna sudah kenikmatan yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan ini.
Setelah kurang lebih 4 jam lamanya mereka berada di dalam bus, melalui berbagai macam jalur curam dan berbatu, serta menikmati segala keindahan alam pegunungan yang tersuguh di sepanjang perjalanan, kini semua penumpang telah tiba di terminal Kecamatan Balung.
Semua penumpang turun secara bergantian, meninggalkan bus tua yang telah membawa mereka sejauh ini dalam keadaan kosong. Di antara puluhan penumpang yang turun di terminal Balung, Aji adalah satu di antaranya. Ia berangkat dari ibukota sekitar satu hari yang lalu, menaiki kereta api selama 8 jam, kemudian menaiki bus besar dan berganti dengan bus kecil yang kini menurunkannya di terminal paling pelosok yang pernah di bangun oleh pemerintah provinsi mereka.
Mengingat betapa pelosok dan terpencilnya daerah ini, tidak heran jika hal pertama yang ditemui Aji usai turun dari bus ialah genangan air yang praktis mengotori celananya sesaat setelah ia mendaratkan kaki. Selain jalan berlubang yang tergenang oleh air, Aji juga disambut oleh aroma menyengat yang berasal dari dupa dan melati yang dibakar di hampir setiap sudut terminal. Sejak dulu hingga sekarang, warga setempat mempercayai jika dengan membakar dupa dan menebar melati di terminal bisa menangkap bala yang terbawa dari luar sehingga tidak akan ada keburukan dari luar yang terbawa masuk ke daerah mereka.
Aji sendiri tidak mengerti darimana datangnya pemahaman seperti itu, namun sebagai warga asli Balung, ia tidak mempunyai pilihan selain menghormati apa yang telah dipercayai orang-orang sejak lama meski nuraninya menganggap hal ini sebagai sesuatu yang tidak masuk akal serta terlalu berlebihan.
Puas memandang sekeliling, Aji mengernyit sembari berjalan dalam gerakan pelan sebab barang bawaan yang teramat banyak. Ia membawa satu buah koper berisi berbagai camilan dan makanan yang dibelinya di kota sementara punggungnya membawa sebuah ransel besar berisi pakaian. Ia tahu orang-orang di desanya mungkin lebih menggemari olahan singkong atau ubi, namun Aji ingin membuat orang-orang terdekatnya menikmati lezatnya brownies, mencicipi enaknya pasta, dan merasakan segarnya berbagai minuman trendi yang tengah booming di ibukota.
Aji menarik kopernya dengan hati-hati agar tidak melindas dupa atau terjerembab ke dalam genangan air. Dipandangnya sekeliling, mencoba menemukan adik perempuannya yang kemarin berkata ingin menjemput. Usai mengedarkan pandangan dan tidak menemukan apa yang dicari, Aji menghela napas. Ia memutuskan untuk berjalan ke salah satu warung yang ada di terminal. Sepertinya ia harus makan terlebih dulu sebab sejak kemarin malam belum ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya.
Setelah menimbang-nimbang dan memperhatikan warung-warung yang ada, Aji melabuhkan pilihannya pada salah satu warung kecil yang terletak di ujung terminal. Dari sekian banyak warung yang ada, tempat tersebut terlihat paling bersih dan rapih meski nampaknya tidak begitu banyak pelanggan yang makan di sana.
"Permisi, Bu," Aji tersenyum ramah sembari menyapa si pemilik warung yang terlihat sibuk membungkusi nasi dari balik etalase yang masih penuh dengan berbagai macam lauk dan sayur.
Wanita tersebut membalas sapaan Aji dengan senyum simpul, "Iya, Nak. Silahkan, silahkan."