Aji mengedarkan pandangan. Senyum samar merekah di bibirnya saat udara segar dan sejuk khas pedesaan merangsek masuk ke dalam saluran pernapasannya. Sudah tiga tahun lebih sejak ia terakhir kali menghirup udara asri ini. Kini hatinya merasa lega lantaran bisa kembali ke desa usai menyelesaikan pendidikannya dengan baik, bahkan ia mampu lulus satu tahun lebih cepat dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya yang lain.
Bagi Aji, sekolah di kota sudah menjadi cita-citanya sejak lama. Ia tumbuh dan besar di desa yang masih sangat tradisional bahkan cenderung kuno. Bermukim di kawasan yang mayoritas masyarakatnya masih menjunjung tinggi kepercayaan-kepercayaan terhadap hal-hal magis dan mistis dimana mitos dan legenda seakan menjadi panduan hidup utama alih-alih Undang-Undang Dasar Negara dan Pancasila membuat keinginan Aji untuk mengubah nasib semakin besar. Oleh karena itu sejak kecil ia bertekad merubah cara pandang warga desa. Ia bukannya ingin melupakan kebudayaan yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat daerahnya, melainkan ingin berbagi gagasan-gagasan dan ide-ide cemerlang yang didapatkannya dari perguruan tinggi agar dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat.
Kini Aji telah kembali dengan segudang ilmu dan pengetahuan baru. Meski ia tidak akan menetap di desa ini untuk seterusnya, setidaknya Aji ingin menularkan ilmu dan pengetahuan yang diperolehnya kepada keluarga, teman, dan tetangganya. Dengan senyum lebar dan mata berbinar, Aji mengamati bukit-bukit dan pepohonan rimbun yang mereka lalui, membayangkan pertemuan indah dengan kawan-kawan serta kekasih hatinya.
Selama kurang lebih 30 menit melalui jalanan berbatu yang naik turun, mereka tiba di sebuah gapura bertuliskan "Desa Balungan". Mobil bak terbuka yang membawa Aji dan Gita melaju perlahan memasuki gapura tersebut. Mereka disambut oleh sebuah jalan yang tidak begitu lebar, hanya muat dilalui dua buah mobil yang berlawanan arah, itupun jika salah satunya tidak apes dan terperosok masuk ke dalam sawah.
Di kanan dan kiri jalan terbentang sawah bersengkedan yang memanjakan mata. Seingat Aji, pemukiman warga masih berjarak satu hingga dua kilometer dari gapura desa. Oleh karenanya tidak ada yang bisa ditemui di sepanjang jalanan ini selain petani-petani yang sibuk di area persawahan serta beberapa sepeda kayu dan motor yang berlalu-lalang.
Aji masih asyik mengamati area persawahan saat kambing yang berada di sampingnya mengeluarkan butiran-butiran hitam yang sontak membuat Aji terkejut dan memekik.
"Kurang ajar!" serunya sembari mendorong kambing tersebut dengan kakinya.
Selama kurang lebih lima menit melintasi area persawahan tanpa ada satupun rumah penduduk, kini kendaraan yang membawa mereka telah memasuki pemukiman warga. Hal ini ditandai dengan pemandangan beberapa bocah yang berkejar-kejaran diikuti rumah demi rumah yang kian lama kian padat.
Aji tersenyum simpul. Bahkan setelah tiga tahun kepergiannya, pemukiman warga masih terlihat sama saja dengan saat ia meninggalkan tempat ini. Tidak ada yang berubah, berkurang, atau bertambah. Hanya ada beberapa rumah warga yang kini terlihat lebih mencolok karena penggunaan cat warna-warni.