Nampek

Makrifatul Illah
Chapter #1

Fatamorgana #1

Hidup akan terus berjalan, tak peduli siapapun yang tengah patah hatinya, tengah rapuh jiwanya. Semesta tetap memintamu untuk baik-baik saja, maka dari itu bertahanlah, berilah waktu sejenak buat semesta mengerti lalu bekerja untuk menjawab setiap proses yang dilalui, karena Tuhan tau kamu sanggup menghadapinya.

Menyusuri jalanan yang berliku. Bentangan sawah telah menguning membias bersamaan dengan senja yang merona. Burung-burung pun juga terbang menuju keperaduannya, sedang aku masih terus saja menyusuri jalanan sawah yang dipenuhi dengan semak-semak liar, sambil sesekali bernyanyi ole-olang lalu berganti haluan dengan lagu sholawatan karena suara spiker masjid tiba-tiba terdengar dengan pujian tanpo waton. 

Aku terus saja mengukuti nada irama kaset yang telah di setel oleh spiker masjid, meski terdengar samar, namun telingaku cukup mendengar pujian-pujian yang memang sudah biasa diputar sebelum adzan magrib berkumandang. Ku lihat disekeliling jalan, rasanya belum juga sampai pada tujuan, sesekali ku tengok lagi beberapa petakan sawah yang membentang dengan luas, namun sepertinya aku tengah kembali ke posisi awal saat aku melangkah. Fikiran negatif mulai menerobos masuk ke otakku.

 "Apakah aku tersesat?" gerutuku sambil memandangi jingga yang sebentar lagi akan berganti malam.

Melihat suasana yang hampir tenggelam dan akan berubah menjadi gulap gulita, segera saja aku bergegas berjalan kembali dengan memilih arah berbeda, dengan harapan bahwa aku akan sampai pada tujuan yakni rumah tempatku berpulang. Sesekali berlari agar bisa cepat sampai tujuan. Tak lupa mataku terus saja berfokus memandangi jalan yang lebarnya tidak sampai 1 meter itu agar tidak sampai terperosot ke dalam sawah. 

Langkahku terhenti seketika, mataku terus saja ku usap, berharap apa yang aku lihat ternyata salah. Namun sayangnya aku seperti kembali ke awal lagi, dimana jejak kakiku perpijak, aku semacam tidak sedang berjalan kemana-mana hanya memutari tempat petakan sawah itu saja namun lelahku sudah tak tertolong rasanya. Karena merasa agak janggal di logika, segera saja ku cubit pipiku berharap ini adalah sebuah mimpi. 

"Bagaimana bisa aku tersesat di sawah yang biasanya aku lewati setiap pulang dari masjid?" fikiran ku terus saja mengusik dan menerawang jauh, berharap ini adalah sebuah mimpi atau sebuah ilusi fatamorgana. Tapi sayang, cubitan yang ku lakukan di pipi ternyata sakitnya bukan kepayang hingga aku berteriak histeris akibat perbuatan ku sendiri.

Merasa nafas terasa ngos-ngosan dan sedikit frustasi, ku putuskan untuk berhenti sejenak. Duduk di gardu yang tak jauh dari posisiku berdiri, berharap emmakku akan menemukanku disini, meski harapan itu sangat kecil adanya, karena pemikiran-pemikiran jelek sudah lebih dulu berkuasa ketimbang pemikiran positif. Langit terlihat semakin meredup, beberapa bintangpun bermunculan begitupun sang bulan yang menyinari hingga cahayanya terpantul ke aliran sawah. 

Dengan sedikit cemas, ku putuskan untuk melanjutkan perjalannan pulang, meski suasana terasa mencekam, hanya bunyian jangkik yang lebih dominan. Kaki ku terus saja melangkah, berharap kali ini aku bisa sampai pada tujuan. Walau tanpa alat penerangan, aku terus saja melangkah, menyusuri jalan yang sudah gelap gulita. Hingga dipertengahan, aku mendengar suara semak yang berbunyi, spontan fikiran ku sudah tidak karuan, berbagai simulasi hadir dalam otakku, membuat hati berdegup kencang dan jiwa ku merasa ketakutan.

 "Jangan-jangan suara itu adalah setan atau sejenis hewan buas yang akan memangsaku." batin ku berbicara seperti sudah tidak waras, karena jika difikirkan kembali mana ada hewan buas ada di tengah sawah bukannya di hutan, tapi percuma, fikiranku sudah terdekte dengan hal-hal semacam itu. Lafalan mantra bak komat kamit dengan kalimat taawwud hadir dalam lidah ku. Aku terus berlari dengan kencang, berharap aku bisa keluar dari masalah yang aku sendiri masih kebingungan menafsirkan situasi ini. Hingga tanpa terduga akupun terjatuh kedalam sawah.

Lihat selengkapnya