Aku memang terlahir dari rahimmu, tapi bukan berarti kamu berhak memiliki hidupku.
🌻
Cuaca di Surabaya membuat ku terus saja mengucapkan astagfirullahaladzim. Bagaimana tidak, panasnya bisa dibilang seperti di daerah Madura, entah karena terlalu banyaknya Gedung pencakar langit atau mungkin efek dari rumah kaca yang semakin banyak berjejer disepanjang jalan raya. Entahlah, yang pasti hari ini aku tengah kepanasan.
Langkahku semakin memperlebar, cuaca semakin menyengat. Lalu kuputuskan untuk memilih berteduh didekat pohon rindang depan Fakultas ilmu politik. Jika ditanya apakah aku tengah menunggu seseorang, tentu jawabku tidak, aku tidak sedang menunggu siapa-siapa, hanya saja, aku memilih berteduh sejenak dari panasnya dunia yang masyaallah banget ini.
Mataku sedikit memicing saat sedang melirik matahari, hingga pandangan ku buram seketika, namun tba-tiba Hpku berdering, segera saja aku mengambil hp di dalam tas. mataku sedikit melirik terlebih dahulu, kira-kira siapa kirangan yang tengah menelfonku di siang bolong begini.
Melihat nama yang tertera di layar hp, akupun memutuskan untuk mengabaikannya, aku semakin enggan untuk mengangkatnya, lalu ku biarkan panggilan tersebut hingga tak berbunyi Kembali, mungkin sudah kesekian kalinya, aku melakukan itu pada seseorang yang barusan tengah menelfonku.
Jujur, aku belum bisa menyiapkan hati untuk itu semua, aku belum siap, apalagi semenjak tekatku memilih pergi darinya, meski tak mudah, namun tetap harus ku lakukan, karena inilah hidupku, aku berhak untuk menentukan jalan ceritanya sendiri, sekalipun aku harus menentang mereka yang telah melahirkan dan membesarkan ku.
Setelah memastikan Hpku tidak berdering Kembali, akupun melangkah menuju ke taman kampus, untuk meluapkan isi hatiku, mungkin tempat ini adalah sudah menjadi tempat terfaforitku kala ibu atau ayah sedang menelfonku.
Ku luapkan isi tangisanku di sana, untungnya, taman kampus sepi, mungkin karena cuacanya yang bikin mahasiswa malas untuk sekedar mengunjungi tempat ini, jadi Alhamdulillah, aku malah lebih nyaman untuk menagis di tempat sini. Selama 5 menit, aku menangisi hatiku yang tengah dirundung rasa kesal dan marah, aku tidak mengerti kenapa aku bisa begini.
Hampir terdengar isakan ku oleh orang lain yang baru saja berjalan melewatiku, dengan segerapun aku menghapus air mata.
''Nor, kamu kenapa?'' sudah ku duga, bahwa si Almeer Syakeel akan mencariku bahkan mulai kepo dengan hidupku.
''Aku gak papa kok.'' terangku sambil mengusap air mata yang tengah jatuh membasahi pipiku.
''Nor, ada apa sih?''
''Aku gak papa Al.''
''Tapi kamu nangis barusan.''
''Aku barusan kelilipen.'' terangku sambil mengusap-usap mataku, berharap si Almeer mau mempercayaiku.
''Nor, aku tau kamu.''