Nampek

Makrifatul Illah
Chapter #4

Hidup tak selalu mulus #4

Wahai diri, terimakasih karena tetap mau bertahan bersama ku. Meski tidak mudah, tapi ku yakin kita bisa menyelesaikannya.

Karena bagaimanapun, apapun yang kita pilih, tetap saja kita akan dimintai pertanggung jawabannya. Baik di dunia maupun kelak di akhirat. Maka jalani dengan sebaik-baiknya. Aku yakin, kita bisa!!

🌻

Hujan masih terus saja turun tanpa mau berhenti, padahal ini sudah tengah malam berkisar pukul 22.00 Wib. Segera aku bergegas pulang menuju kos, karena peraturan kos yang selama ini aku tempati, harus pulang tidak lebih dari jam 22.00 Wib, dan jika lebih dari itu maka gerbang pintunya akan dikunci.

Meski semenjak bekerja, aku sering sekali terkunci, akibat terlambat pulang, sehigga aku selalu berteriak meminta tolong pada teman-teman kos yang masih belum tertidur lelap, namun kali ini semoga tidak terjadi lagi.

Langkahku semakin melebar menuju pintu utama, sambil mencoba memesan ojek online lewat Hp ku, karena tak mungkin jika aku memilih berjalan kaki, karena ini sudah terlalu malam, apalagi untuk melewati jembatan layang yang sudah kupastikan sepi.

Hampir 5 menit aku menunggu ojek online, namun belum juga ada respon sama sekali, mungkin karena hujan lebat yang mengakibatkan abang ojeknya tidak mau mengambil orderan ini, apalagi tarif yang tertera hanya 5000 rupiah.

"Ah, kemana sih babang gojeknya, kok dicensel muluk." aku mendengus kesal, sesekali menggaruk kepala yang tertutup hijab.

Sebenarnya mobil taxi masih stand by berjejer di area parkir, namun bagaimanapun aku harus hemat, mengingat bayar taxi cukup mahal di bandingkan dengan isi dompet ku, jadi biasanya aku selalu memilih transport yang cukup pas dikantong ku, meski harus kehujanan dan kepanasan akibat naik gojek atau angkot.

"Ah, sialan, bisa terkunci dari luar aku nanti, semoga saja ada temen-temen kos yang masih belum tidur, agar bisa membukakan pintu untukku." terangku frustasi.

Hampir 20 menit aku menekan tombol pesan di aplikasi gojekku, namun belum juga ada respon, akhirnya dengan terpaksa aku memilih berjalan, kakiku terus saja melangkah, sesekali berlari, kulihat disekeliling, rupanya sudah mulai sepi, jalanan juga sudah lumayan renggang, sedang hujan terus saja mengguyur tubuhku, sehingga hodie yang ku kenakan sudah dipastikan telah basah.

"Kenapa sih, aku bisa lupa bawa payung." aku meruntuki kebodohan yang telah ku perbuat sendiri karena sudah tau ini adalah musim hujan namun tetap saja, aku selalu lupa untuk membawa payung.

Aku mempercepat langkah kaki, ku lirik kanan kiri lalu dengan segera aku menaiki satu persatu jembatan layang, nafasku terasa ngos-ngosan, padahal aku masih menaiki anak tangga ke 10, namun tetap saja, ini seperti berat bagiku, mungkin karena aku kurang olahraga sehingga naik tangga beginian saja sudah terasa beratnya.

"Ok, fixs besok aku harus olahraga." Ku yainkan diri, semoga saja ini tidak menjadi wacana di keesokan harinya.

Hujan semakin lebat mengguyur tubuhku, sehingga tetesannya telah membuatku sakit, sedang angin terus saja bertiup membuat pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan terus saja melambai-lambai tak tentu arah terbawa oleh angin, sesekali ranting dan daunnya berjatuhan mengotori tepian jalan raya.

"Sabar, ini akan sampai." hembusan nafas menjadi pelengkap sedih ku, namun aku tetap harus berusaha tegar dengan apa yang ku lalui, karena bagaimanapun nyatanya, hidup di kota orang tanpa siapapun bukanlah hal yang mudah, selain butuh penyesuaian, juga dibutuhkan mental yang kuat agar tidak mudah menyerah.

Seperti saat ini, suasana semakin mencekam, petir sudah kesekian kali mengelegar bersamaan dengan kilat yang cukup membuat mataku seketika terpejam.

Lihat selengkapnya