Nampek

Makrifatul Illah
Chapter #6

cerita masa lalu #6

Ceritaku bermula sejak pengumuman kelulusan sudah terpampang di madding sekolah. pada waktu itu aku belum juga melihat hasilnya, alasannya bukan karena madding masih di kerumuni temen-temen kelas ku, melainkan aku bingung akan masa depan ku yang mungkin nanti akan berakhir seperti kakak kelas yang lainnya, yakni dipaksa menikah dini.

Aku tau, meski ini sudah zaman milineal, bukan berarti stigma orang Madura sudah modern semua, buktinya di desaku masih saja ada yang menganggap bahwa perempaun itu gak usah kuliah tinggi-tinggi. aku tau alasan mereka seperti itu, karena mungkin pikirnya mereka bahwa biaya yang akan dikeluarkan untuk kuliah tidaklah sedikit. Mengingat perekonomian di desa ku cukup terbilang pas-pasan, sehingga kebanyakan dari mereka menyuruh anak perempunnya untuk menikah.

Terlepas dari itu, alasan dari anak perempuan menikah dini di Madura karena masyarakat di Desa ku juga masih ada saja yang menganggap pamali atau takut sangkal jika salah satu dari anak perempuannya tersebut ada yang berani menolak pinangan lelaki pertama yang telah meminang. Jadi mungkin itulah alasan kedua kenapa orang tua selalu memaksa agar anak perempuannya untuk menikah setelah lulus SMA bahkan ada juga yang ketika lulus SD. Biar tidak dikira perawan tua nantinya.

Memang aku akui, bahwa di Madura, umur 25 tahun ke atas, itu sudah dianggap perawan tua. Meski pada nyatanya, umur segitu, sebenarnya kalau di kota, sudah biasa, malahan masih ada juga yang masih melanjutkan kuliah S2-nya, tapi terlepas dari itu semua, aku tidak menyalahkan desaku, karena selain dari itu semua, kekeluargaan dan keagamaannya memang kental sekali sehingga aku tidak pernah menyesali lahir di Madura, hanya saja cara pandang mereka butuh dirubah sedikit perihal perempuan.

''Noura, wak dulih tengguh, hasil ujiannah, kakeh olle nilai tenggih Nor.'' ( Noura, sana liat hasil ujianmu, ternyata kamu mendapatkan nilai tertinggi loh Nor) terang salah satu teman perempuanku kala itu mengatakan padaku dengan logat bahasa Madura.

''Hah, onggu yeh?’’ ( Ah, masak sih?) segera saja aku beranjak dari kursi tempat duduk untuk melihat pengumuman yang telah di tempel di mading.

Satu hal yang menjadi kebanggaanku kali ini, mendapatkan nilai tertinggi membuat keresahan ku sedikit lega, setidaknya, siapa tau ibuku bisa sadar untuk menyekolahkanku ke jenjang yang lebih tinggi. Segera saja aku pulang menuju kerumah, sungguh aku sangat terburu-buru menemui ibu yang mungkin masih berada di sawah.

Mataku melihat-lihat hamparan sawah yang telah menguning, sambil fokus untuk mencari ibuku, hingga akhirnya aku menemukannya, ia tengah menggiling padi.

''Emmak.'' teriakku dengan lantang membuat beberapa orang yang juga tengah menggiling padi melihatku.

''Emmak, engkok lolos.'' terang ku lagi sambil berjalan menuju ibu berada, namun naasnya, saking girangnya diriku, hingga tanpa sadar aku terjatuh ke dalam sawah yang banyak sekali lumpurnya, sehingga membuat wajahku terpoles oleh lumpur, sedang para petani begitupun ibu tengah terbahak-bahak melihatku yang baru saja atraksi jatuh ke lumpur padi. Dan pada saat itulah kadar kecantikan ku sedikit menurun.

''Ih, todus tauk mak.'' terangku sambil berusaha berdiri yang dibantu oleh ibuku.

Entah aku juga bingung pada ibu ku sendiri, karena saat aku terjatuh, bukannya histeris menolongku, akan tetapi ibuku malah tertawa terbahak-bahak sambil mengatakan ''Dulat'' (Kapok) padaku, meski akhirnya, ibuku tetap akan menolongku juga berserta dengan mantra-mantranya alias omelan-omelannya yang mungkin sudah tidak pernah absen memarahiku. Berasa lengkap sudah penderiataan ku kali ini. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, aku medengus kesal, mencoba terbangun dari jatuhku.

Lihat selengkapnya