masih berkutat dengan masa lalu, masih ku ingat, pada saat itu, Sejak seminggu berlalu, aku dan orang tuaku sudah merasa baikan, karena bagaiamanpun aku tidak bisa bermusuhan pada mereka, akerna bisa mati kelaparan jika itu berlanjut, seperti saat ini, sudah 2 hari, hidupku normal Kembali, ibu dan bapak juga tidak membahas masalah penolakan perjodohan itu Kembali, jadi alhamdulillah akhirnya aku bisa bergerak bebas dan makan tanpa harus memastikan terlebih dahulu, ibu dan bapak apakah masih berada di ruamh atau sudah keluar.
Ku lihat cuaca pagi ini terlihat berbeda, mendung namun tak kunjung turun hujan.
''Tedung nyaman riyah.'' ( Tidur enak nih) batinku berbicara. Ketika hendak menarima selimut, tiba-tiba ibuku berteriak seperti sudah kelihangan planet bumi.
''Nor, Nor.''
''Huhh kahh.'' ( Aduh ih) aku bangkit dari tempat tidurku dengan perasaan kesal yang sangat mendalam melempar selimut dan bantalku ke tembok kamarku.
''Esmosi jiwaku! Lok bisa ajelling anak eng, neng-enneng diddik lekkah..heran onggu !! marenah le obe posisi engkok beih sededdih reng tuah kah male tak ketomanan.. oreng pass lak……..'' (Emosi jiwaku, gak bisa apa melihat anaknya santai-santai sebentar aja, heran aku tu!! enaknya kita rubah posisi aja, aku yang jadi oibu biar gak tuman, orang kok senengannya.....)
''Nor?'' aahhh. Belum selesai aku mengomel ibuku sudah berteriak lagii..
''Iyott makkkk… iyooooooooooottttt'' ( iya bu, iya...) ucapku penuh dengan penekannan.
''Jek reng pas keng iyot e kenangah tok. marenah le e yeretah sokonah jiyah mun tak dik jegeh.'' ( orang aps hanya bilang iya di tempatnya saja gitu, habis ini tak seret ya kakimu, jika tidak bangun-bangun)
Langkahku mempercepat menuju sumber teriakan yang memekkan telinga itu berada, jika tidak.! ibuku sudah pasti akan benar-benar menyeret kakiku persis adegan penyiksaan bawang putih yang dilakukan ibu tirinya bersama bawang merah, bedanya saya adalah anak kandung.
Akupun mencarinya ke dapur tapi tidak ada, rupanya sumber itu berasal dari halaman depan rumah. Ku lihat emakku tengah berdiri dengan tangan kanan memegang sapu lidi bersamaan dengan raut wajah yang sudah siap menerkam mangsanya, perasaanku mendadak mulai tidak enak, rupanya bau-bau menyuruhku menyapu halaman ini dan benar saja dugaanku.
''Iyakk Nor, asapoan!'' ( ini Nor, sapu) ucapnya dengan enteng sekali macam dosaku, sembari menyodorkan sapu lidi yang sudah berpindah majikan padaku. Aku hanya diam tak meng-iyakan juga tidak mentidak-kan, malas sekali jika harus berperang dunia sepagi ini dengan ibu. Segera ku sapu halaman yang luasnya sudah seperti lapangan sepak GBK ini. ''Tek kotorah'' ( aduh, kotornya) celetukku mengetahui kondisi halaman yang memang kotor sekali karena angin kencang tadi malam yang menyebabkan daun pohon mangga yang ada di sebelah gerbang berjatuhan ditambah dengan rumput-rumput kecil yang mulai tumbuh memenuhi halaman.
Setelah semuanya beres aku istirahat duduk dibawah pohon jambu disamping rumah yang buahnya sudah mulai menguning siap untuk ku pindah tempatkan kedalam perutku, menikmati suasana pagi yang tenang namun berkabut.
''Nor….'' ibu menghampiri.
Haduhhh,, kenapa ibu bisa tiba-tiba berada disebelahku. “Emak reh andik dendam apa sehh seonggunah ke engkok, kadik tek lok ikhlasah mun engkok neng-enneng.'' ( ibu ini punya dendam apa sih kepadaku, seperti tidak ingin aku ini hidup santai) ucapku dalam hati sembari meliriknya, entah pekerjaan apa lagi yang akan dia limpahkan padaku.
''Deggik long nulongin yeh Nor, e romanah mbok Hotijeh?'' ( Nanti bantu-bantu yah Nor, di rumahnya buk Hotijeh?)
''Agohhh njek makk…'' ( Aduh, enggak bu) protesku pada ibu kala itu.
''Marah ngucak njek.. pas lakoh ah apah kocak eng, se lok pakek enjek,,, e soro dek iyeh enjek, e soro ruah enjek..” ( ayo bilang enggak, lalu kerja apa lagi coba, biar kamu gak ajwab tidak lagi, masak, disuruh begini tidak, disuruh begitu juga jawabannya tidak)