Nampek

Makrifatul Illah
Chapter #11

Orang pintar #11

Berhari-hari setelah itu, aku sudah seperti menjadi tokoh utama dalam topik pembicaraan mereka. Iya, mereka, para tetanggaku yang baik hati. Tapi apa peduliku, terserah mereka beserta keluarganya. Rentetan-rentetan kejadian yang aku alami telah membuatku sejenak berfikir, kenapa sosok perempuan kebebasannya selalu dibenturkan dengan tradisi yang bak harga mati. Perempuan seperti dituntut untuk menerima apa yang ada tanpa diberi kesempatan untuk memilih. Perihal kuliah dan monolak lamaran? Apa yang salah? Ahhhhh kenapa desaku serumit ini. Pertanyaan-pertanyaan gilapun sudah mendesak untuk segera meledak.

''Sapah seh se andik penemuh engak riyah? apah karena derih di sanah se pedalaman yehh? Coba engkok bisa mile onggu, engkok tak mintah lahir edinnak, engkok mintah lahir e Amerika deiyeh rohh Enggress, Jerman, Astgafirullah, pekkeran apah coba!"(siapa sih yang menemukan ide ini, apa karena lokasinya pedesaan yah? andai aku bisa memilih, mungkin aku akan meminta dilahirkan di Amerika, atau Inggris bahkan bisa juga Jerman, Astgafirullah, pikiran apa ini coba!)

Aku terus merenung sembari meletakkan tanganku di dagu, menetap sekitar yang sepi.

''Terus engkok koduh demmah ya Allah? Aaaaaaaaaaaaaaahhh ruwet-ruweet.'' (lalu aku harus bagaimana ya Allah? ah, pusing) aku mengacak-acak rambutku sehingga tak beraturan bak diibaratkan seperti kuntilanak.

''Nor, Noura..''

''Hadohhhh, emak lagi-emak lagi.'' (haduh, ibu lagi, ibu lagi) terangku, menambah acakan pada rambutku yang telah lusuh.

''Napah nyonya se raddin tadek pole?'' (ada apa nyonya yang cantik tiada lagi?) aku menekankan ucapanku pada ibu.

''Astagfirullah, obuk, eng Nor, engak reng gileh.'' (Astagfirullah, rambutmu Nor, seperti orang gila) terang ibu setelah melihat keadaan rambutku yang sudah tak karuan, segera aku merapikannya kembali dengan tanganku.

''Ater engkok mayuh.'' (ayo antarkan ibu cepetan)

''Kammah mak?'' (kemana bu?)

''Mayuh lah, jek nyakbenyak atanyah.'' (Sudahlah ayo, jangan banyak bertanya)

''Iyeh wahh iyehh, hadohhh. Bileh?'' (iya, iya, kapan?)

''Taon pole.'' (tahun lagi)

''Ye, mun gik taon pole lejegik ngajek setiah mak.'' (Ya kalau tahun lagi jangan ngajak sekarang dong mak)

''Benni taon pole ongguen Nor, deggik mareh duhur.'' (Bukan tahun lagi Nor, tapi nanti habis duhur)

''Ye demmah pegenna mangkanah.'' (yang jelas dong bu, makanya)

''Yella kalla kakeh le dimandih. Marenah le duhur, abejeng pas mangkat.'' (Ya sudah kamu mandi dulu, habis itu sholat duhur, lalu berangkat)

''Jeu enjek she?'' (jauh enggak sih bu?)

''Ba, gik nyak-tanyaan.'' (aduh, masih tanya aja terus)

''Baaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.'' (aduh) Akupun menjawabnya lebih panjang dari ibuku.

Lihat selengkapnya