Nampek

Makrifatul Illah
Chapter #12

kisah ayah #12

Masih dengan masa lalu kelamku. Hidup ini benar-benar membingungkan, terkadang yang sulit dicerna oleh akal sehat bisa menjadi jalan keluar yang masih samar-samar. Dan terkadang yang jelas-jelas suatu kebenaran malah sebaliknya menjadi kekeliruan.

Lalu aku harus bagaimana tuhan? Bagaimana caranya agar bisa keluar dari lingkaran yang tak hitam dan tak putih ini? Bergulat dengan garis jalan yang entah dimana ujungnya?

Kenapa dalam menentukan pilihan saja perempuan samahalnya seperti menentukan surga dan neraka? Mengapa ketika memilih jalan yang berbeda pun sama halnya seperti memilih hidup atau mati saja? Akankah ini ada peluang untuk berakhir? Diakhirkan? atau mengakhiri? Ataukah pula akan terus menerus berkelanjutan?Aaahhhhhhh menyebalkan! Pemikiran ini hanya akan menambah sakit kepalaku saja.

Ku lirik jam dinding dikamar yang berada tepat disamping foto wisuda SMA-ku. 2 benda yang membawa pikiranku kembali bekerja. Ku pandangi sangat dalam detik demi detik jarum jam yang tengah berputar, merasakan dentumannya.

''bektoh terus apoter, agenteh areh, jem, menit, detik. Tapeh bek abek en gik paggun ngan riyah, tadek perubahan sama sekaleh delem odik.'' (Waktu terus saja berputar, jam, menit, detik. Tapi aku masih sama saja seperti ini) Batinku sembari menghela nafas panjang.

Selajutnya pandanganku beralih pada pada foto dimana diriku berdiri dengan tegaknya lengkap dengan baju toga yang ku kenakan, senyumnya seolah memberiku dukungan dan dorongan untuk melangkah lebih jauh dari ini, mendaki pada ketinggan yang tak pernah dicapai sebelumnya.

''Hadohh kah wes engkok tedungah la kol 02.00 Wib lanah, sakejjek aggik le sobbu.'' (Aduh, udah ah, aku mau tidur, ini sudah jam 02.00 Wib sebenar lagi sudah subuh) akupun menarik selimut, dan tenggelam dalam mimpiku. 

****

''Hoaaam." Aku menguap sembari memincingkan mata setelah bangun dari tidur nyenyakku yang lebih siang dari biasanya karena sedang halangan jadi tidak perlu bangun untuk sholat subuh.

''Dungaren emak lok nyegein engkok, biasanah gulagguh le ngajek perang dunia, senyuroah asapoan, rakora, bekombe.'' (Tumben ibu tidak bangunin aku, biasanya pagi-pagi sudah ngajak perang dunia, nyuruh nyapu, cuci piring, cuci baju) Kususuri seisi rumah, tidak ada orang sama sekali. Kulanjutkan kedapur untuk melihat arit dan renjhing-tempat untuk rumput yang sudah dipotong, biasanya terbuat dari bambu. Kalau alat itu tidak ada, berarti ibu sudah pergi kesawah. Dugaanku benar, arit dan renjhingnya sudah tidak ada.

''Beh, mimpeh apah emak yeh malemah. Tumben le beres kabbi.'' (Hah, mimpi apa sih ibuku tadi malam, tumben sudah beres semua) aku masih antara percaya dan tidak percaya atau barangkali tengah bermimpi melihat semua perkerjaan rumah sudah selesai. Betapa ajaibnya pagi ini, ternyata ibuku juga sudah masak. Ku mencoba makan sesondok nasi ke mulutku, aku mulai menguyah dan menelannya.

Ketika aku hendak beranjak mencuci piring bekas makanku tadi, tiba-tiba terdengar suara Hp bapakku berbunyi. ''Sapah kah gulagguh le nelvon.'' (siapa coba sepagi ini sudah menelfon) pikirku.

Akupun segera berlari mencari sumber suara yang ternyata berasal dari kamar orang tuaku. Tapi dimana? Aku hanya mendengar bunyi tanpa wujud.

''Njek pas bedeh dimmah Hp riyah kocak eh?'' (ini ada dimana sih Hp-nya) aku mencari kesana-kemari, didalam lemari, dimeja, hingga akhirnya ketemu dibawah bantal. Tapi giliran Hp-nya sudah ditemukan, panggilannya sudah berakhir. Ku cek ternyata sudah ada 3 panggilan tak terjawab dari nomer yang asing belum bernama.

''Tlululuulutt." panggilan yang sama dari nomer yang sama dan sudah yang ke 4 kalinya, aku mengangkatnya sengaja tanpa bersuara.

''Halo, Assalamu’alaikum, kak? le mangkat bininah ke sabe?'' (Hallo, Assalamualaikum, kak, istrinya sudah berangkat ke sawah?) ucap orang itu dari seberang, yang rupanya suara seorang perempuan tapi entah siapa.

Lihat selengkapnya