Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #2

Ukuran Nilai Ukiran

“Bah, abang belum datang” kata Unai, adik Ancah sambil jemarinya bermain menyulat hulu mandau. Dia seorang remaja kurus yang baru menamatkan SMA. Sambil menunggu panggilan di perusaahan batu bara, Unai membantu abah yang seorang pengerajin hulu dan kumpang mandau atau parang.

Di teras rumah yang terbuat dari kayu itu terlihat berhamburan oleh serutan kayu gelodok, gerunggang, ulin, dan rotan. Beberapa tanduk kijang, kulit hewan, dan bulu burung atau macan juga ada. Di sanalah mereka berdua tengah asyik dengan pekerjaan masing-masing.

“Nah, manis dan cantik” ucap abah. Perawakannya cukup tinggi berambut putih. Matanya yang cekung karena usia dan kebiasaan begadang tetap ia usahakan untuk melek menyelesaikan pesanan. Jika sedang banyak order begini, bagi seorang seniman macam dia. Lebih menyiksa ukiran yang tanggung daripada lapar untuk sarapan.

Sang Abah mengangkat sarung atau kumpang mandau ke atas. Sopak atas bawah ada, manik terpasang, tali belawit, bulu macan terpasang, dan tempusar oke. Abah mulai menimbang nimbang kepantasan dan kegagahan saat nanti diplitur. Tinggal pasang tabin. Ia jepit lagi rokok kretek yang tinggal setengah di mulutnya itu menggunakan jemari kirinya.

“Bah!!?, Abang belum pulang..??? Nah sepertinya keasyikan” tukas Unai pelan.

“Mendengar aja aku” jawab Abah cuek tanpa memandang putranya. Ia kernyitkan sebelah matanya mencermati detail ukiran. Kurang puas ia ambil anak mandau untuk menyerut kayu agar lebih memunculkan motif. Asap mengepul dari kedua bibirnya yang hitam kebiruan. Sang Abah puas.

Abah menyandarkan sarung mandau ke dinding.

“Biasanya juga ke mana kalau tak pulang” lanjutnya sambil memutar duduk dan mendekati Unai. “Biarkan saja”

“Abah nggak khawatir?”

“Sudah bujang begitu. Tenang saja. Kutung itu tak mudah tumbang hanya karena tuak atau berkelahi”

Unai sedikit tersenyum saat Abah menyebut gelar kakaknya itu.

“Nah. Mana sulatanmu” Abah mulai mengoreksi. Unai lalu memberikan hasil sulatan yang belum seberapa selesai itu.

“Astaga!!! Sembarang!!” ucap Abah terkesan jengkel sambil membuang puntung rokoknya.

Unai hanya tertunduk malu.

“Macam apa kau ini menyulat??? Longgar besar kecil dan tak beratur kaya ini”

“Lama sekali, Bah. Sebenarnya lebih cepat kalau kita kelabang dulu suiran rotan itu. Baru kita lilitkan ke hulu” kilah Unai memberi solusi.

“Ngaco. Memang kerjaan seperti ini harus teliti dan sabar. Makanya jika pemesan tak paham dan asal memesan, sering menawar harga yang murah. Dia tak mengerti bagaimna itu membuat dan menyulam asesoris mandau sesuai jenis dan khas daerahnya.”

Jemari Abah menjumput sebatang rokok dari wadahnya. Menjepit ke mulut dan menyalakan batang rokok itu “Seperti menyulat ini. Sulat 4 kaman ini bisa rampung 3-4 hari. Belum mencari koin belanda dan mengukir hulu. Jika orang diupah duaratus ribu pun kayaknya tak akan mau.”

“Tapi banyak mandau di luar sana tidak sampai sejuta, Bah. Untung yang pesan ini mau untuk bayar sampai 8 juta. Padahal hulu mandau ini seperti simpel saja membuatnya. Dari kayu ulin bukan tanduk. Tak banyak ukiran lagi”

“Mandau souvenir yang berhulu fiber atau mandau kerja biasanya segitu.” Jemari Abah bermain dengan semacam jarum berpengait dari jeruji sepeda untuk menarik dan memasukkan helai rotan dalam sulatan. Tangannya kemudian menunjukkan hulu mandau yang sedang diperbaiki ke Unai.

“Beda dengan yang kita buat. Ini namanya Hulu Tunggur dari Dayak Benuaq. Bilahnya tempilan. Apa kamu pandang ini mudah” tukas Abah sambil menggeleng. “Kamu salah. Hulunya yang mirip wajah binatang ini termasuk yang susah juga membentuk dan menyerutnya. Apalagi asli bahannya ini adalah akar ulin. Sedikit demi sedikit mengikis karena cukup keras. Punggung jari ayah saja kerap luka jika terlalu menekan. Lagi pula banyak pengerajin yang kadang melupakan pakem asli hulu ini. Coba kamu perhatikan” menunjuk hulu pada bagian telinga semacam kuncup. “Ini menurut kenalan abah sesama pengerajin mandau asli Dayak Benuaq seharusnya runcing ke atas. Tapi masih banyak ditemui pada bagian itu tumpul dan pendek. Bicara pakem memang tak main-main.”

Unai mendengarkan sambil membersihkan serutan-serutan di lantai rumah.

“Ambilkan anak mandau itu”

Kemudian Abah memotong ujung rotan untuk memudahkan menyulat lagi.

“Hulu Tunggur ini bertempusar satu. Biasanya Tempusar Belana. Beda dengan mandau dari Kal-Teng yang berjenis Sangkak. Biasanya tempusar dibuat dengan jumlah sesuai simbol pemakainya.”

“Maksudnya” tanya Unai tertarik.

“Mandau dengan tempusar 3 itu melambangkan kepunyaan prajurit. Biasanya banyak pengerajin hanya berani membuat yang demikian sebab untuk tempusar 4 itu memang harus orang yang diakui atau dijunjung dalam pasukannya. Dia disebut pangkalima.”

“Dari pesanan yang pernah kita terima kayaknya gak hanya dari Kal-Teng saja yang bertempusar lebih dari satu” respon Unai. Kali ini ia beranjak berdiri untuk mengambil sebuah mandau yang dipenuhi banyak sekali ornamen. Mandau itu sangat cantik dan mewah. Dipenuhi dengan bulu burung serta disulam warna merah, hitam, dan putih pada bagian tepi kumpang. Hulunya terbuat dari tanduk rusa. Penuh ukiran dari hulu sampai kumpang dan yang menyembulkan rambut pada bagian mahkota serta pertengahan paruh. “ Ini mandau asli dari Kalimantan Utara, Bukan? Lihat” menunjuk bagian tempusar. ‘Jumlahnya tiga. Berarti tidak mesti dari Kal-Teng”

Sang abah tertawa. Ia menjeda sebentar. Mengambil sebatang rokok, menyulutnya dan mulai menyulat kembali. Dia sangka suku Dayak tiap provinsi hanya satu saja, gumam ayah.

“Yang kau ambil itu mandau Dayak Kenyah. Memang khasnya banyak ornament dan warna. Suku Dayak itu banyak sekali dan masing masing punya khas dalam seni dan filosofi mandau. Dayak Iban Kalimantan Barat mempunyai Mandau Jimpul, Langgai Tinggang, Naibur, dan Tangkitn yang memainkan tempusar lebih dari satu. Di Kal-Teng sendiri ada Dayak Ngaju yang kita kenal hulunya jenis Sangkak dan Mandau Sanaman dari batu beracun Mantikei. Di Kal-Tim suku Dayak Benuaq sendiri mempunyai mandau Hulu Lamet Baung dan menempatkan tempusar lebih dari satu. Hanya Hulu Tunggur, Kemau, dan Kenohong yang bertempusar satu. Tapi sesuai kataku tadi. Semua mandau punya kisah dan keistimewaan. Nah kalau Kal-Sel ini karena mayoritas suku Banjar maka lebih kepada pisau,keris, dan parang. Pisau semisal belati herder, Raja Tumpang, Raja Begalung, dan ujung pedang. Keris oleh orang sini biasa disebut sapukal atau sempana misal sempana daun atau sempana carita. Bila parang nah ini banyak ada parang bungkul, kajang rungkup, lais, pacat gantung, dan lantik.”

“Hulu Tunggur yang kita buat ini apa istimewanya, Bah?”

Merasa terganggu, sang abah menegur.

“Ah, Kau ini. Coba cek stok kayu gerunggang kita di sana itu. Masihlah?”

“Masih, Bah.”

“Coba cek dulu!” sedikit membentak.

Lihat selengkapnya