Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #4

Hadiah Setahun Sekali

Jika mereka pikir ini keadilan, tentulah keliru. Bersembunyi dalam lembutnya selimut dan berkelumbun dengan mimpi indah yang diupayakan ke tindakan nyata; berkebalikan dari dirinya dan warga Desa Jelai dan Rengkat yang harus berjaga saat musim hujan seperti malam ini.

Terdengar gemuruh aliran sungai yang kian ribut tak tentu arah pada jam 9 malam. Hujan sejak pagi membawa material tanah, batu, bercampur potongan kayu dari atas, tepatnya Gunung Salaman. Sementara itu kecamatan kecil di bawahnya, Kintap bersiap terima santunan. Ancah mengedarkan mata di bibir pintu menyaksikan hiruk pikuk warga dalam kecemasan. Benaknya ikut dalam kalut manakala di pelatarannya air sudah tampak meluber. Oh Tuhan, tahun demi tahun terasa sama bila musim hujan datang. 

"Jangan diam saja. Pastikan kabel dan hal yang berbau listrik itu tetap di atas permukaan" seru Abah. Langkahnya wira-wiri dengan fokus kepada penyelematan mata pencahriannya. Kayu segala rotan harus diamankan. Kerugian bisa mencapai 100% apabila bahan-bahan itu ikut terbawa arus. 

"Unai!!! Sudah kau naikkan tv dan benda lainnya ke jukung?" 

Unai yang gopoh basah oleh hujan berlari-lari kecil sambil memikul karungan benda sesuai instruksi sang abah. Ia lalu menerebas hujan kembali untuk mengamankan itu ke dalam jukung. Unai menatap hasil kerjaannya. Benda-benda berharga yang rawan terjamah air telah berkumpul jadi satu di dalam perahu tradisional itu.

"Beres, Bah!" jawabnya sambil mencondongkan badan masuk ke dalam perahu dan berlindung dari hujan.

"Ancah!!!!! Suriansyahhhh!!!!! Cepat!! Mengapa masih berdiri di situ!" hardik sang Abah sebal karena Ancah tak kunjung menggerakkan badan.

Ancah kemudian berjalan menuruti kemauan sang Abah. Gigi-giginya bergemeretak menyikapi kondisi yang ia rasakan malam ini dan seterusnya. Ancah membayangkan betapa penguasa tambang dan kelapa sawit mungkin akan berseloroh saat besok muka nestapa macam dia dan yang lain telah nongol di medsos sebagai warga yang terdampak musibah. Seperti yang lalu-lalu, gumamnya. Ancah ingat kembali kala asyik membuka istagram yang memuat harian Tanah Laut, desanya masuk sebagai lokasi banjir yang paling buruk. Di atas foto warga desa, judul harian koran nampak begitu persuasif. Di sana berbunyi, sudah diperingatkan agar meninggalkan desa namun warga Rengkat dan Jelai tetap bertahan. Isi pada bagian pembuka wacana juga tak kalah pencitraannya; sejumlah PT batu bara atau karet bersimpati dengan kirimkan bantuan di mana warganya sangat antusias menerimanya. Ancah menghembuskan napas usai menekuk pipa untuk dialihkan ke permukaan yang tak basah. Dia melanjutkan lamunannya, paling tidak kami warga Desa Jelai akan terus dipelihara baik oleh perusahaan-perusahaan itu. Bercitra sebagai pahlawan sudah tak membayang lagi. Semua kesatuan telah utuh pada satu label dalam diri mereka di mata masyrakat bahwa itu merupakan sikap kemunafikan yang sangat nyata.

Abah tampak kelelahan. Dia duduk di emperan dengan baju yang basah berhias serutan kayu.

"Unai. Kopi untuk Abah!!" pinta Ancah cukup nyaring.

Lihat selengkapnya