Kampung Jelai dan Rengkat mempunyai luas wilayah sekitar 4 ribu hektare. Kedua kampung itu masih sangat asri dengan pohon hutan dan belukar yang berisi buah-buahan serta sarang lebah di mana madunya biasa penduduk sekitar jual untuk menafkahi keluarganya. Kampung Rengkat banyak makam leluhur yang diberi kain kuning. Makam itu biasanya oleh penduduk sekitar rutin pada bulan tertentu dirawat dengan diberi sesembahan dan kegiatan upacara sakral.
Kampung Jelai dan Rengkat dibatasi patok yang terbuat dari coran semen. Namun sekitar 8 tahun ini keduanya telah dibatasi oleh jalan hauling PT K.S. Sejahtera.
Malam selepas Isa dengan kondisi masih banjir, di kampung Jelai tepatnya di rumah Ancah, abah mengundang kepala desa dan perwakilan tokoh dari Desa Rengkat untuk musyawarah.
Ancah yang mengetahui informasi bahwa tak lama lagi ekscavator akan masuk dan membolak-balik tanah di kampungnya berusaha memberikan penjelasan dengan detail.
Asmuni sebagai perwakilan Desa Rengkat mendengarkan dengan saksama perihal tersebut. Dengan mengenakan kondang di kepala dan baju sasirangan ia terpekur khidmat. Sesaat kemudian dia berbicara:
"Jika benar demikian memang semestinya kita harus bersama dan melawan. Paling tidak kita buat saja patok dan penjagaan di lintasan ekscavator itu." Ia membenarkan duduknya lalu menyambung lagi "Informasi ini beberapa minggu sebenarnya juga telah terdengar saya. Tapi respon sebagian warga memang kurang peka. Sulit kompak, mungkin karena penjelmaan Pak Robi yang sudah membeli kepercayaan mereka. Alasan sebagian penduduk jelas bahwa lintasan ekscavator itu tidak mengenai makam leluhur Desa Rengkat, sebaliknya sebagian lahan yang akan ditanam sawit itu berada di Desa Jelai."
"Tidak bisa demikian" sela Abah. " Desa Jelai dan Rengkat jelas sama-sama dirugikan. Memang untuk sekarang kerusakan yang parah itu dari desa kami. Tapi beberapa bulan atau setahun pasti Desa Rengkat kena imbas. Hal yang nyata adalah banjir ini juga bermuara ke desa kalian, bukan?"
"Selain banjir, jika berhubungan dengan makam leluhur pasti warga Rengkat akan bergerak" timpal Asmuni lagi.
"Lambat" celetuk Ancah. "Jika Jelai sudah mulai tergusur, kemungkinan banyak di antara warga akan pindah mengingat ketergantungan hidup mereka terhadap alam. Jika sudah seperti itu, pastinya Desa Rengkat akan menyusul karena kurang dukungan."
Kai Muqni ikut menimpal.
"Benar kata pemuda ini. Setiap tahun harus terima banjir dari tambang dan tak terserap perkebunan. Kemuadian tentang limbah janjangan sawit itu juga cukup meresahkan. Limbah dibuang dekat dengan perkebunanku dan Desa Pandan yang berada di tepi jalan utama. Ini perlu kita bahas juga. Kita tak bisa berdiam diri."
"Banjir tak terlalu dalam di desa kami. Limbah janjangan atau tankos juga tak terseret meski kadang baunya tercium sampai ke desa. Akan tetapi satu sisi bantuan cepat datang. Aku rasa sebagian warga kami memaklumi ini lebih ke arah bencana."
"Itulah kelemahanmu, Asmuni. Hidungmu sudah mencium limbah sebagai aroma uang. Matamu tak melihat berapa banyak anak kecil yang mencret atau ispa karena banjir dan asap janjangan busuk itu. Sepertinya diam-diam kau dukung mereka, bukan?" sergah Kai Muqni mulai emosi.
"Cukup dulu debatnya. Sebenarnya salah saya juga yang tak tegas" tengahi Pak Kades. "Saya yang kurang mampu mengatur warga Desa Rengkat. Tepatnya terlambat sehingga banyak dari mereka pro dengan perusahaan. Seharusnya masa itu saya lebih gesit memberikan sosialisasi agar menjadi bahan informasi untuk mereka."
"Memang sebagian besar dari kami adalah pekerja dan pegawai PT K.S. Sejahtera, mungkin karena itulah mereka merasa sudah punya tempat tetap sehingga mengesampingkan bahaya banjir dan pergeseran lahan" akui Asmuni.
"Itu juga yang saya maksud terlambat tadi" timpal Pak Kades. " Bicara soal dasar, awal perselisihan itu bermula saat Petinggi menerbitkan SK izin lokasi pembangunan kelapa sawit atas nama PT JWT yang luasnya sekitar 8000 hektare. Saat pergantian pimpinan, Plt. Petinggi menerbitkan surat keputusan yang mengalihkan izin tersebut ke PT K.S. Sejahtera di lokasi dan luasan yang sama" cerita Pak Kades mengingat hal itu. Dia kemudian menyambung lagi:
"Sejak awal, sebagian warga dari dua desa menolak keberadaan perusahaan tersebut. Sebenarnya dengan terbitnya surat peralihan itu Plt. Petinggi juga menerbitkan surat lagi terkait pembukaan lahan di luar izin yang diberikan kepada seluruh pimpinan perusahaan perkebunan sawit, terutama PT K.S. Sejahtera. Isinya melarang kegiatan pada areal di luar izin lokasi dan HGU yang sudah diberikan.
Setahun berlalu dan Plt. Petinggi digantikan oleh petinggi yang baru. Pada masa peralihan itu entah bagaimana caranya perusahaan K.S. Sejahtera berhasil memperoleh restu untuk membuat jalan hauling di antara Desa Jelai dan Rengkat. Agaknya selain kolega atas, di bawah ada tokoh desa yang terhasut atau warga yang terpengaruh dengan iming-iming lahan jagung serta beberapa ekor kerbau sebagai bentuk ganti rugi."
" Sebagian masyarakat yang tak terima kemudian membentuk perwakilan beberapa orang lalu membuat laporan ke petinggi bahwa PT K.S. Sejahtera secara sadar telah membuat jalan hauling dan mengklaim sekitar 1300 hektare tanah Desa Jelai dan Rengkat sebagai HGU yang sah" terus Abah.
"Kau ada juga di sana bukan?" lirik Abah ke Asmuni. Dia mengangguk " Ya. Sebulan sesudah aduan itu terbitlah surat dari Petinggi yang malah menyatakan bahwa klaim PT K.S. Sejahtera adalah sah, artinya luas tanah Desa Jelai dan Rengkat menurut agraria kurang dari 3000 hektare. Melalui surat itu pula dimakzulkan bahwa PT K.S. Sejahtera mempunyai izin penuh untuk melakukan pengoperasian. Kami lalu bergabung dengan elemen badan lingkungan hidup dan DPRD yang tak tinggal diam untuk memohon pembentukan Pansus menyoal Perkebunan PT K.S. Sejahtera. Setidaknya layangan surat permohonan diupayakan sampai ke tingkat yang paling atas. Tapi berbulan-bulan bahkan sudah mencapai titik terendah hingga bentangan tapal batas selesai dibuat hal yang diinginkan tak kunjung kabul."
Mendengar penjelasan tersebut tentu saja membuat Ancah geram. Jiwa mudanya menggelora.
"Sudah jangan diperlambat lagi. Segera saja kita kumpulkan warga untuk mulai membuat patok dan penjagaan agar ekscavator itu tak bisa masuk"
Percakapan terus bergulir hingga larut malam. Di luar bising truk pengangkut batu bara dan sawit masih terdengar membelah kesunyian.
*
Sehari kemudian, di pagi buta gemuruh ramai terdengar di depan jalan masuk PT K.S. Sejahtera. Dilihat dari jumlah kerumunan ada sekitar lebih 30 orang. Kebanyakan pria berkaos kutang atau kaos serabutan. Banyak di antara menyelipkan parang atau mandau di pinggang. Terlihat pula selain massa, banyak dum truk pengangkut batu bara di parkir tak beraturan di sana.
"Ayolah Brayy, cepat buka portal itu. Antrean sudah panjang. Percuma kalian menahan. Kami supir tak tahu menahu tentang masalah itu" seru seorang supir bertubuh besar dengan rambut cepak. Pergelengan tangan kanannya melingkar tato seperti rantai.
"Kita sama orang sini Brayy, nggak usah ribut-ribut. Malu" tegur yang lain.
"Kami ini hanya jalankan amanah atasan. Beliau bilang blokir, ya kami laksanakan" jawab seorang dengan logat Kal-Teng yang kentara.