Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #7

Siasat

Sekitar satu jam berlalu sejak pertemuan Pak Robi dan Pak Zakaria. Di dalam mobil Xenia yang dikemudikan Askep, Pak Robi menggerutu:

"Heh!!? Sudah seperti ular sikapnya itu. Banyak alasan dan berkelit menyelamatkan dirinya."

Membaca roman atasannya yang seolah memerlukan lawan bicara sang Askep lalu menimpali dengan pertanyaan:

"Lantas bagaimana hasilnya, Pak?"

"Ku desak dia. Jika mau berlanjut bahkan mau masuk perdata, aku siap."

"Bagaimana maksudnya, Pak. Kok sampai tuntutan perdata?"

Pak Robi menekuk bibirnya.

"Sopirnya jadi korban penganiayaan yang dilakukan Bashman. Dia mengancam akan menuntutku sebagai pimpinan yang mengedepankan sikap premanisme dibandingkan musyawarah intelektual atau terpelajar." 

"Kata kawan-kawan di sana, bukannya para supir dum truk itu yang nyolot duluan?"

"Oleh sebab itu. Konyol sekali bukan? Dia sebagai pimpinan sama sekali tak mau mengorbankan ongkos pribadi untuk memudahkan sebuah pekerjaan. Berapa sih kita mematok tarif angkutan mereka perbulan?" tanya Pak Robi. Sang Askep tak menjawab sebab dia tahu itu hanya pertanyaan retorika. "Tidak sampai seperempat gaji dia, bukan? Jika perusahaannya benar-benar seret. Yah cukup dialah yang keluarkan, beres. Bukan malah meladeni pemblokiran macam sudah jagoan saja. Apakah tidak berpikir jika dilanjutkan bakal ada korban jiwa, terutama di pihaknya. Dia berkelit bahwa Bashman lepas kendali dan arogan dalam memimpin hingga terluka satu supir angkutan tambangnya. Pak Zakaria itu sedikit tolol" lanjut Pak Robi sambil ketawa. " Dia sudutkan aku melalui perdata dengan alasan itu. Memang segitu banyak orang tidak ada saksi mata, siapa yang duluan? Benar-benar asal tubruk orang itu."

Askep juga ikut tertawa. 

"Padahal jika kita balik, kita bisa menang Pak."

Pak Robi menepuk pahanya.

"Nah itu! Sampai berarti pikiran kau" katanya terkekeh. Sejurus kemudian dia memandang Askep serius.

"Anak buah Pak Zakaria jelas jelas berniat membunuh Bashman. Itu supir yang terluka pada awalnya dia membabi buta dengan obengnya, bukan? Lalu ada anak buah dia yang meletuskan senjata api. Apa bukan pelanggaran itu?" 

"Benar, Pak."

"Makanya. Memang manusia ular ya gitu. Taunya gigit tanpa mengerti siapa sebenarnya yang duluan berbuat salah. Songong-songong.."

Mobil Xenia melaju pelan menerabas tanah dan kerikit dari arahnya mereka berdua menuju pabrik.

"Tapi keputusan untuk menebus Bashman agar bebas itu termasuk langkah brilian, Pak. Sedikit besar pengaruhnya mampu membuat para supir dum truk itu berpikir-pikir jika hendak melanggar" ucap Askep dengan rasa bangga.

"Itu benar. Bashman ini pengaruhnya kuat. Tapi bukan hanya untuk itu aku bebaskan dia" jawab Pak Robi sambil mengamati lingkungan sawitnya. Banyak pemberondol lalu lalang. Banyak di antara mereka tampak sumringah saat pulang mengangkut puluhan karung yang mereka kumpulkan dalam dua sampai tiga hari.

"Lantas untuk apa, Pak?" tanya Askep.

"Para jamur sialan ini lama-lama menjelma menjadi parasit" gumam Pak Robi keluar dari topik. Kemudian dia sadar dan menyeru ke Askep. 

"Hubungi Bashman. Siapkan yang aku pesan lalu cepat tancap di titik yang sudah ku beritahukan."

Sang Askep kepo:

"Apa itu, Pak?"

"Alah. Tak perlu kau tau. Apapun itu sudah jadi alasanku untuk bebaskan dia. Nah itu jawabanku untukmu tadi."

Sang Askep tampak bingung. Kemudian mobil berhenti. Sang Askep lalu terlihat memencet ponsel.

*

Di pos penjagaan, Bashman mulai mengganti kaosnya dengan seragam sekuriti berwarna biru malam. Dia lalu berdiri di depan cermin. Dia pandang-andang lagi seragamnya. Bangga terpancar. 

"Sudah gagah kau, Bash" kata satu rekannya.

Bashman tersenyum. Dia lalu berjalan keluar. Di tangan kanan Bashman membawa linggis dan tangan kirinya membawa semacam patok bertuliskan sesuatu.

Pesan seluler dari Askep memberitahukan bahwa patok pancang informasi itu harap ditancapkan 200 meter dari pos penjagaan. Tepatnya di tepian jalan hauling utama.

Di sini sepertinya cocok, pikir Bashman.

Dia lalu mulai menggali menggunakan linggis yang sejak tadi digenggamnya. Selang waktu kemudian papan pengumuman itu telah tertancap dan bisa dilihat jelas oleh semua orang yang melewati jalan hauling itu.

Bashman berdiri menatap papan itu sambil menyeka kedua tangannya yang kotor oleh tanah dan lumpur. Dia tak habis pikir, mengapa kejadian seperti ini ada lagi. Dia menggeleng geleng bingung. Hal demikian sudah pasti merugikan mereka. Mengapa kecerobohan itu harus diulangi lagi. Bashman membalikkan badan dan melangkah menuju pos penjagaan. Jelas terlihat dari sana isi dari papan informasi itu.

SEMUA PEMBERONDOL YANG MERASA TERBAWA 10 BUAH DODOS DAN 12 EGREK AGAR DALAM SEMINGGU INI HARAP DIKEMBALIKAN. JIKA MALU MENGANTAR KE POS PENJAGAAN, BISA DITINGGAL DI SEKITAR LOKASI TERTENTU DENGAN MENGUBUNGI NOMOR XXXXXX.

Lihat selengkapnya