Mengendarai motor supra pretelan yang hanya tersisa kerangka dalam medan yang becek berlubang seperti ini sebenarnya ada sensasi tersendiri. Modifikasi roda dengan ban rimba serta shock yang menjungkit membuat tubuh benar-benar seperti zumba di cardio perkotaan.
Pagi ini Ancah melajukan motornya untuk datang ke Gunung Salaman. Ada seseorang spesial yang hari ini hendak ia temui. Di setang sepeda motor tergantung kantong plastik hitam yang ia beli dari pasar subuh. Dengan keyakinan penuh Ancah bersemangat sambil mengurai senyum.
Dalam perjalanan dia melihat kelokan sungai yang berdekatan dengan area tambang tampak meluap hebat. Tiba-tiba air mukanya berubah. Jalan ini pun cukup tergenang namun dengan posisi naik, arus air lebih condong sebagai bah kiriman ke kecamatan di bawahnya. Ancah meremat tangan kirinya, ia teringat betapa dirinya harus bersusah payah malam tadi untuk evakuasi benda di sekitar rumahnya. Sampai pagi banjir belum surut malah menjadi-jadi. Motor ini pun hampir jdi korban. Ancah terpaksa membuat rakit untuk melewatkan motornya menuju jalan utama. Yah. Sekarang banjir sudah sebatas lutut. Ia ingat pula saat motornya telah sentuh tanah aspal kerumunan tetangga dan warga dua desa menyembul dan berdiri di tepian jalan meminta sumbangan. Jika sudah berlaku begitu, tak tumbuhkah perasaan bersalah dari dua perusahaan perusak tanah itu? Mungkin untuk skala kecil anggotanya, iya. Tapi para garong-garong yang suka plesir ke luar negeri dan naik heli itu tentunya tidak. Ah, biar mampus mengambang pun mereka tetap diam bergeming.
Pikiran Ancah lalu beralih pada berita di sebuah stasiun televisi daerah sekitarnya. Warta itu memberitahukan tentang pelanggaran-pelanggaran lingkup tambang. Dalam berita menyorot aksi demo tentang tambang di daerah Satui, Sungai Danau yang jaraknya tak sampai 2 meter dari jalan umum. Dari jalan itu bahkan Ancah seolah dapat melihat inti bumi yang begitu luas dan dalam. Berita lain tentang ledakan blassting tambang yang jaraknya sangat dekat. Mereka mungkin berpikir itu seperti tahun baru, tapi tidak untuk warga khususnya yang punya anak kecil. Tiap pagi sampai malam yang berdengung ialah meriam kiamat dalam perang. Bayi-bayi menggelijang tak tenang dan membuat orang tua bingung kepalang. Lebih miris lagi kejadian anak yang mati karena masuk ke danau bekas galian tambang. Jaraknya juga sangat dekat hingga mungkin dianggap ranah bermain untuk mereka. Mirisnya sang petinggi provinsi itu hanya menganggapnya sebagai insiden. Jika seorang taruh beling atau paku dalam kasurmu apakah itu berlaku juga terhadap jawaban insiden? Entah..sudah linglung semuanya.
Seperti hari-hari ini yang buat Ancah gelisatan tak tenang manakala bertambah lagi lara saat hadapi kenyataan perusahaan kelapa sawit yang mulai lepas kopling kembali dan siap keruk habis apa yang mereka klaim dengan macam daluh serta skenario kekotaan. Ancah memicik kepalanya, semoga malam ini dua desa bisa kompak dan bangun bahtera perlawanannya.
Motor mengalun pelan saat mencapai pinggir desa. Masuk jalan setapak Ancah memandang penuh haru bercampur duka. Tak lama sampailah ia pada sebuah rumah kecil dengan panjang tak sampai satu meter. Pada bangunan di atas pusara tertera sebuah nama orang yang Ancah cinta.
"Aku datang, Kinan."
*
"Jadi keputasanmu bulat bahwa kau akan gugurkan kandungan itu?"
Kinan melipat ke dua tangannya. Di sebuah rumah makan sederhana itu ketidakyakinan dan bingung menggelayuti kepala Kinan.
"Mau bagaimana lagi?"