Pukul 4 sore di bawah pohon jambu tepatnya di atas sebuah kursi panjang dengan air yang masih menggenang; tampak Abah sedang memijat putranya, Ancah yang cukup babak belur karena perkelahiannya dengan Bashman pagi tadi. Tubuhnya yang cukup gempal sebenarnya sedikit menyulitkan abah untuk menekan urat dan otot dengan jemari lentiknya. Merasa kurang licin, abah membaluri punggung putranya itu dengan sebuah minyak buatan sendiri. Minyak Ambang Bahari warisan dari kakek Ancah seorang Dayak Ngaju di Kal-Teng. Minyak urut ini punya ragam fungsi dan khasiat. Minyak Ambang Bahari diolah dari beberapa bahan seperti akar saluang belum, ginseng hutan, akar paku atei, akar supa, batang sirih, sereh, dan palawija. Di desa Jelai dan Rengkat cukup mudah mencari setengah dari jenis bahan minyak urut itu. Sisanya memang harus ke Kal-Teng untuk mendapatkannya. Beruntung semasa muda abah suka membansaw kayu di Kal-Teng sehingga masih tesimpan beberapa bahan yang ia jaga dengan baik agar tak rusak dimakan rayap.
Ancah meringis manakala jemari abah mulai menekan ke urat yang bermasalah.
"Lagi, tambahi!??" seru abah setengah kesal sebab kegiatan pijat itu sedikit besarnya berpengaruh dengan deadline pengerjaan mandau dari seseorang. Rasa jengkel juga bertambah karena banjir yang belum surut. Kadang kaki abah menjulur ke bawah sekadar menendang air agar tak bosan dalam memijat putranya. Mau bagaimana lagi, tak ada ibu maka abah harus bergerak cekatan dan mensyukuri nikmat berkumpul dengan keluarga.
"Assalamualaikum" seru seorang dari teras depan. Ayah dan anak tersebut lalu mengarahkan wajah ke si pengucap salam.
"Waalaikumsalam" jawab Abah yang melihat seorang asing berdiri dengan celana basah sebatas lutut di depan rumahnya.
Abah berjalan mendekati sementara Ancah sibuk mengenakan kaosnya.
Sedikit bingung, Abah mengernyitkan keningnya.
"Siapa ya?"
Laki-laki di depannya itu berpakaian rapi dan memiliki kulit putih. Dari hal itu jelas sekali menunjukkan bahwa lingkup pekerjaan pria tersebut pasti kantoran. Usianya sekitar 40an dengan perawakan tegap dan karakter disiplin.
"Saya Johan. Orang yang memesan mandau hulu Tunggur."
"Ohhhhhh, maaf..maaf..maaaf.., maklum orang tua kadang suka lali" kata Abah coba mencairkan suasana. Sejenak ia pandang lekat wajahnya untuk berusaha mengingat nama pelanggannya. Bagi abah hal ini biasa karena salah satu cara untuk membuat pelanggan merasa dihargai adalah dengan ingat nama dan wajahnya.
Pak Johan maju ke emperan.
"Boleh saya duduk, Pak?"
Abah merasa kecolongan peran sebagai tuan rumah.
"Eh, silakan. Tapi jangan di situ, kotor. Mari ke dalam saja?"
Sedikit kurang nyaman, Pak Johan menimpal.
"Tidak perlu, Pak. Celana saya basah setengah. Malah repot nanti jika duduk di dalam."
"Ahhh. ..sudah..sudah. Ayo masuk" bujuk sang abah. "Nai!!!! Naiii!!!!!" merasa tak ada respon, Abah memanggil sang kakak. Ancah segera datang.
"Kemana adikmu?"
Dengan masih meresapi hangat minyak dan kekenduran ototnya, Ancah menukas:
"Tidak tahu, Bah. Paling bisa ke pinggir jalan minta sumbangan."
"Sudah hampir jam 5? Ahh dasar anak itu.., ya sudah kamu saja. Bikinkan kopi panas dua ya?" pinta sang abah. Ancah lalu pergi menuju dapur.
Johan dan Abah akhirnya beranjak menuju ruang tengah setelah cukup lama sang abah membujuknya.
"Silakan duduk, Pak" tawar Abah. Pak Johan mengikuti.
"Nah kalau begini jadi lebih baik" kata Abah tersenyum. Dia lalu sedikit membungkuk untuk mengambil pesanan Pak Johan. "Ini dia, Pak. Gagah dan elegan" meletakkan mandau hulu Tunggur di atas meja.
Pak Johan meraih mandau pesanannya. Dia amat-amati bagian hulu dan sarungnya. Pak Johan tersenyum cukup puas.
"Ada ikatan kain merah yang dikelabang pada bagian kumpang ya, Pak?" tanya Pak Johan kemudian.