Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #11

Monopoli

Di Desa Jelai dan Rengkat pelaksanaan ritual mungkin termasuk sederhana mengingat masyarakat yang beragama heterogen dari pecahan Pegunungan Meratus.

Seperti yang terlihat pada pagi ini adalah pembakaran dupa di rumah balai dan sesajen lainnya. Abah yang turut membantu pelaksanaan itu terlihat ulet dan cekatan dalam persiapan. Meskipun abah beragama Islam namun sikap toleransinya patut diacungi jempol. Desas-desus tentang rencana alih lahan dari perusahaan sudah sangat mencuat di lingkup desa. Abah perhatikan banyak masyarakat yang ikut dalam persiapan namun juga tak dapat dipungkiri sebagian terutama dari Desa Rengkat tetap beraktivitas di perusahaan seperti biasa.

Dari dalam rumah balai tampak semua gotong royong baik perempuan atau laki-laki. Perempuan sibuk dengan bersih-bersih dan menyulam daun enau sementara laki-laki menata dekorasi sederhana dari batang bambu untuk pancangan tiang dan dekorasi pada dinding dan langit-langit agar tampak indah. Abah yang telah rampung dalam membantu dekorasi dalam mengikat dan memacangkan bambu kemudian turun dari tangga untuk menemui Asmuni di bawah rumah balai. Pikirnya mungkin temannya itu sedang membantu untuk mencari hewan untuk korban nanti pada acara puncak. 

Di samping balai yang berbentuk panggung itu benar saja, abah melihat Asmuni sedang bencengkrama dengan Damang atau ketua adat, penghulu, balian, dan yang lainnya. Ada juga kai Muqni di sana. Bincang-bincang mereka terjadi pada sebuah gubuk panjang.

Meski pelataran masih cukup tergenang sebatas mata kaki toh tradisi harus tetap berlangsung. Dengan pasti abah melangkahkan kakinya untuk berkumpul.

Sekitar satu meter dari jaraknya tiba-tiba sebuah mobil Xenia putih dengan bergeol ke kiri dan ke kanan tampak masuk ke arah desa. Semua mengenal mobil itu. Ya. Itu mobil Pak Robi.

Setelah dirasa parkir pada tanah yang tak terlalu dijamah banjir, pak Robi keluar dari mobilnya. Dia tak sendirian, sebelah kiri tampak muncul Kades dan dari belakang ada sekitar 3 orang. Salah satu orang terlihat familiar, dialah Bashman Lamang.

Bau wangi-wangian dari daun sesaji dan pembakaran dupa langsung sambut mereka saat makin mendekati balai. Pak Robi yang mengetahui tetua kampung sedang berdiskusi di gubuk panjang segera melambaikan tangan tanda sapaan. Para tetua dan tokoh desa itupun menyambut mereka dengan senyuman.

"Bukankah kau seperti pulang kampung toh?" tegur Tama kepada Bashman. Dialah bodyguard Pak Robi, orang yang merekomendasikan kebebasan untuk Bashman dan koordinator dari semua sekuriti di PT K.S. Sejahtera. Banyak orang termasuk dari sekuriti sendiri sangat segan dengan Antonius Tamaloni. Tubuh Tama tinggi besar dengan wajah gelap dan guratan pengalaman yang luar biasa. Dia perantauan dari flores. Telah lama hidup dan membaur di Kalimantan, Tama tentu sudah mengerti budaya dan cara pergaulannya. Jika ditanya tentang kesaktian, Tama yang lebih sering digelari algojo perkebunan itu banyak bersemat rumor bahwa dia merupakan salah satu tangan kanan Jhon Kei musuh bebuyutan Hercules, penguasa Tanah Abang.

Mata Tama yang hampir keluar tentu merupakan gretakan tersendiri. Meski terkenal dengan rumornya, fakta unik yang lain adalah warga jarang atau bahkan tak pernah melihat Tama. Dia itu seperti dikhususkan untuk terjun ke dalam permasalahan besar atau menyangkut geng yang bisa jadi mengancam Pak Robi atau perusahaan.

"Kau dengar kita bicara he?!" 

Bashman mengangguk.

"Ya. Aku dengar. Di Teweh sana, kami sebutnya mamapas lewu. Tapi setahuku baik di Meratus atau di Teweh acara kaya ini setelah panen. Tapi pasti ada alasan tertentu jadi dilaksanakan pada bulan penghujan seperti sekarang."

Keduanya fokus mengikuti langkah Pak Robi yang mulai mendekati tempat duduk para tokoh Desa Jelai dan Rengkat.

*

Melalui perundingan sebentar, acara yang berkedok silaturahmi perusahaan itu akhirnya terlaksana di dalam balai. Pak Robi selaku mentor memulainya dengan sambutan yang sering ia gunakan agar suasana dapat ia monopoli.

"Selamat, pagi tokoh-tokoh yang saya hormati baik dari Desa Jelai maupun Rengkat. Adil Katalino Bacuramin Kasaroga Basengat Kajubata. Arus!!!!" ucapnya sambil kepalkan tangan ke depan.

Semua yang ada dalam balai serempak bersatu.

"Arus!!! Arus!!!! Aruss!!!!"

"Minta rela dan ridho kedatangan kami ke sini tidak lain dan tidak bukan itu ada beberapa tujuan."

Ketua adat atau Damang bernama Ampong Hanyi duduk bersila menyimak paparan Pak Robi. Tak jauh beda dengan hadirin yang lain seperti Balian, Penghulu, Kades, Kai Muqni, Asmuni, Abah, dan belakangan Ancah beserta Pak Johan juga terlihat datang serta duduk di sudut balai memperhatikan.

"Nah. Jadi dari kita pribadi itu sangat berterima kasih kepada perusahaan atas bantuan untuk acara tolak bala ini" kata Damang Ampong sebagai penjawab atas tujuan Pak Robi. Yah pendekatan yang biasa dia lakukan tentu adalah mendukung dan mencari pengayom dari dalam desa. Lebih dekat dan akrab itu lebih baik. Selanjutnya tinggal secara pelan memanipulasi kata untuk sampaikan gagasan inti dengan bungkus yang baik dan menyentuh. Tak main-main, pengantar awal itu bernilai 10 juta untuk kegiatan aruh dan perlengkapan lain. Tentunya dalam skala warga jumlah itu sangat besar. Antusias mata dan gerak bibir yang Pak Robi baca berdasarkan pengalamannya menyimpulkan keterbukaan jalan yang bagus pada pertemuan ini. Dia pun menjelaskan kembali.

"Kami dari perusahaan sadar belum menjadi mitra atau saudara terhadap dua desa ini. Banyak kekurangan dan kesalahan yang kami buat semisal muatan air yang datang dari perusahaan tambang itu tak dapat kami benahi dengan baik."

Pak Robi terus mengutarakan rasa simpatik dan peduli tentang banjir dan segala hal berkaitan tentang kemajuan desa. Sesekali tersirat dalam tuturannya adalah mengarahkan semua bentuk musibah ini kepada perusahaan tambang sehingga nilai bersih tersemat dalam perkebunannya.

Ancah yang menyaksikan monopoli wacana itu tentu paham dan tak akan ikut tersugesti oleh Pak Robi. Umpannya sangat terlihat dari kesantunan bahasa, rasa simpatik dengan modal besar, solusi yang cerdas dan seolah brilian hingga dalil-dalil tentang hukum agraria yang bertanda tangan resmi dari para petinggi terkait. Rupanya pengamatan Ancah disadari Bashman yang segera seperti menggawil Tama. Keduanya seolah berbisik penuh rencana. Apapun dari mereka ini adalah tanda kesiagaan untuk diri Ancah. Dia pahami dan pelajari itu dengan baik.

"Kemudian dengan tidak mengurangi rasa hormat, dalam kesempatan ini saya juga ingin memberitahukan hal yang mungkin bapak ibu sudah mengetahuinya. Perlu saya sampaikan agar tidak menjadi kesimpangsiuran dan terkesan saling provokatif ataupun adu domba. Bapak ibu terkait rencana PT K.S. Sejahtera yang dimulai pada bulan ke 3 nanti untuk optmalisasi lahan" gerak bibir Pak Robi menari sangat halus dan detail tentang hal itu. Namun sebagian juga telah paham tujuan dan arahnya. Pak Robi berbicara sekitar 20 menit untuk hal ini. Kemudian terjadilah urun rembuk atau diskusi.

"Begini, Pak Robi" kata Damang Ampong menjawab musyawarah. "Bagi kami tanah ini sangat berharga karena warisan leluhur yang sudah menjadi tanggung jawab kami untuk merawatnya bahkan melebihi dari tanggung jawab kami menjaga diri. Kalaulah benar apa yang hendak perusahaan rencanakan untuk optimalisasi lahan sebenarnya kami ikut senang karena satu sisi perusahaan juga tak berlipat tangan tentang hal apapun terkait kemajuan desa tempat kami tinggal. Akan tetapi, harus perusahaan pikirkan dengan matang. Taruhlah yang pertama tentang proyek hauling ini sudah cukup sebenarnya untuk membelah desa kami. Jika ditambah dengan pelebaran kembali maka berkemungkinan besar tanah leluhur kami akan ikut terambil. Pak Robi tahu dan pasti mengerti tentang bagaimana kami junjung hormat makam dan peninggalan leluhur itu."

Kades juga masuk dalam pembicaraan.

"Apa yang disampaikan Damang Ampong itu benar, Pak. Terlebih dari itu jika saya tidak salah ingat, pada pembentukan jalan hauling yang pertama dari pihak desa terkukut tanah sebanyak 1.300 hektare. Kami ini, Pak" mata Kades tajam dan serius memandang Pak Robi "dua desa ini awalnya 4000 hektare, telah pangkas seribu lebih. Sekarang akan dipangkas lagi. Kira-kira dari bapak bagaimana melihat ini dengan nurani. Memang seperti yang bapak jelaskan dan juga lembaran surat keputusan dari petinggi-petinggi yang sudah teken kontrak itu; bahwa Sah lahan perusahaan ini mencapai 16.200 hektare walaupun saya masih ada salinan pengesahan sebelumnya saat proyek jalan hauling yaitu 15.234 hektare" tukas Kades sambil mengeluarkan lembaran fotokopi surat keputusan." Ini bagaimana, Pak?"

Pak Robi tenang dan terampil.

"Jumlah awal itu setengah dari hitungan lahan plasma bapak ibu. Maksudnya begini" Pak Robi memposisikan duduk agak mencondong ke depan. "Lahan plasma itu termasuk ke dalam HGU secara agraria. Di dalam lahan plasma itu kita saling kerjasama. Artinya lahan itu selain sawit juga boleh bapak ibu tanami apa saja. Sifatnya bagi hasil. Meskipun secara hukum lahan itu masuk lahan basah perusahaan."

Tiba-tiba Ancah memotong.

Lihat selengkapnya