Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #12

Sepasang Mata yang Mengancam

Pagi seperti biasa berselaput halimun di wilayah pabrik. Hujan malam tadi bagaikan sapaan untuk besi-besi pipa berbentuk selinder raksasa itu sehingga berkenang dengan lekat air yang menempelinya . Dari salah satu pintu masuk dengan andalan plang dan jeruji mirip kurungan dalam penjara, karyawan-karyawan mulai berganti shiff lalu mengisi posisinya masing-masing. Pak Johan ikut dalam kerumunan karyawan pagi itu sambil menikmati cakrawala yang masih malu untuk sinarkan ronanya.

Sebagai engenering bagian mekanik sudah tugas dia untuk memantau aktivitas mesin pemecah dan penghasil minyak kasar orange itu. Deru lori dan penggiling ciptakan bising yang setiap hari menabuh gendang telinga. Di tingkat atas dapat ia dengar gelundungan tandan sawit berjatuhan untuk masuk ke sebuah tabung panjang di bawahnya. Tabung panjang itu berjalan menggunakan lori untuk masuk ke tabung sterillizer atau pemisah biji dan tandan. Melalui tekanan uap panas panas tandan yang sesuai pemeriksaan kualitas sebelumnya akan dipermak hingga lembek.

Pak Johan memperhatikan itu dengan saksama sambil membawa sebuah catatan pantau. Beberapa hal biasa ia tulis untuk memastikan mesin dalam keadaan baik dan stabil. Lori lalu membawa sawit yang rapuh pada stasiun berikutnya yaitu drum yang berputar. Sebelum masuk, biji sawit akan terpisah dan masuk di antara celah -celah lori yang berjalan. Tandan kosong akan terbawa lori melalui rantai conveyor yang akan berkumpul pada pabrik pengolahan. Biasanya tankos atau janjangan itu bisa dimanfaatkan sebagai pupuk saat busuk. Dari situ jamur sawit akan timbul dan bertahan hidup. 

Biji-biji sawit yang terjatuh dari celah inilah yang akan masuk drum dengan gilingan mirip adukan telur raksasa. Usai diaduk sedemikian rupa agar bertambah bersih dan lembek. Dalam proses ini biji dan serabut masih ikut menyatu. Biji-biji ini berjalan di atas lori kembali untuk masuk ke stasiun press di mana akan ada dua tahapan. Pertama sawit yang masuk akan digrading atau digiling menggunakan mesin baling-baling tapi serupa juga batang bor raksasa. Pada mesin ini biji-bji akan terpisah dari kulit dan daging. Penggilingan itu yang akan membuat sawit menjadi minyak kasar dan sepahnya akan terbawa ke produksi sendiri. Biasanya sepah akan keluar melalui corong dan bertumpuk menggunung di halaman pabrik. Sepah ini dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif untuk perusahaan. 

Minyak kasar warna orange itu kemudian tertampung dalam sebuah tong raksasa yang di dalamnya termuat air. Dari sini minyak akan mengambang sementara serabut kecil akan tenggelam ke dasar. 

Tiap hari Pak Johan harus kroscek produksi ini. Biasanya juga ia akan memeriksa panel jika terjadi abnormal saat pengolahan.

"Jangan terlalu memicingkan mata melebihi pandangan kepada istrimu" seru seorang perempuan dari atas. Pak Johan mendongak ke belakang lalu ke atas. Itu Bu Sardah, askep bagian industri. Kantornya memang tak jauh dari mesin-mesin ini. Bu Sardah merupakan rekan satu SMA dengan Pak Johan juga istrinya.

"Tentu tidaklah. Dia perioritas utama"

Bu Sardah berjalan menuruni tangga. Dengan baju kantor berwarna cream dia tampak lebih menyatu dengan minyak. Gurat mata yang penuh dedikasi itu mencerminkan pada hasil yang ia peroleh hari ini. 

"Mesin ini menghasilkan beratus-ratus kubik minyak setiap harinya. Seandainya pemilik ini dari bangsa kita, mungkin negeri ini sudah kaya raya" kata Bu Sardah nasionalis.

Pak Johan melangkahkan kaki memutari Bu Sardah. Ia berjalan mendekati lori yang mengangkut biji sawit yang telah lembek kulit dan dagingnya.

"Nasionalismu itu kurang tepat di sini. Alat-alat ini tampaknya perlu penyegaran. Sekadar bersih saja tidak cukup. Faktanya banyak serabut yang luput terperangkap dan malah ikut masuk dalam tong besar di sana" tunjuk Pak Johan.

"Aku tak terlalu tertarik dengan mesin" Bu Sardah berjalan sambil melipat tangan. Dia lalu menyisi ke bagian teralis pagar. Matanya mengamati pengaduk sawit dengan deru pabrik yang masih gaduh dan bising. Kendati demikian percakapan mereka toh mengalir saja tanpa hambatan. Mungkin karena telah biasa dengan lingkungan.

"Katakan Johan" ucap Bu Sardah membalik badan. Ia dapat melihat punggung Pak Johan naik turun. Mungkin jemarinya sedang menulis. "Ada apa dengan kau dan Larasati?"

Pak Johan melengos menyamping.

"Apakah sekarang acara curhat keluarga?"

Bu Sardah mendekat.

"Ku dengar hubungan kalian meremang. Sejauh ini kau berjuang untuk pembangunan. Jangan lengah, perempuan mudah bosan jika hanya dapatkan satu."

"Aku sampai di sini berkat kau dan Handarbeni. Aku berterima kasih. Aku membangun ini untuk keluargaku. Larasati, istriku tentu jadi perirotas utama. Keluarga kecil kami perlahan membaik dan meninggi seiring posisiku sekarang. Jika Larasati mengadu padamu tentang suatu hal buruk. Aku bisa apa selain mengharap kau untuk menamengiku." Pak Johan memasukkan buku kecil ke sakunya. Dia memandang sekitar yang mulai mengerumun pekerja dengan giat aktivitasnya.

"Aku percaya kau, Sardah. Kasih paham dia tentang keadaanku di sini."

Bu Sardah diam saja. Ia malah melangkahkan kaki untuk berlalu pergi sekarang.

*

Oleh pelarangan untuk para pemberondol mau tak mau Ancah, Salahuddin, dan Iskandar terjun untuk mencari jamur bersama ibu-ibu. Pagi-pagi sekali mereka tiba. Pada satu lokasi yang bertumpuk janjangan kosong bekas gilingan, musim hujan memang rumah bagi jamur untuk berkembang biak. Dengan cekatan Ancah memetik jamur yang ranum menguncup itu. Sejenak pikirannya melintasi lorong waktu beberapa jam sebelum ketiganya tiba di sini. Yah. Masuk perkebunan harus melalui portal. Sementara yang membuka portal tersebut adalah bagian sekuriti. Kebetulan saja atau bagaimana yang bertugas pagi ini adalah Bashman Lamang. Saat Ancah dan dua rekannya masuk entah hal apa yang direncanakan sehingga membuat Bashman menyeringai senyum. Dan tatapan tajam itu tak bisa bohongi Ancah bahwa itu mengandung rencana yang sangat kotor. Bedebah itu mulai bermain kaki kembali.

Ancah kembali fokus mencari jamurnya. Lumayan banyak ia dapat. Bisa dijual atau untuk lauk sendiri. Tengah asik mencari tiba-tiba terdengar mobil pickup dengan kursi barakuda melintasi jalan hauling. Pikiran mereka mengarah ke acara apa lagi sekarang. Dua pihak berwajib berseragam cokelat dan sepatu komando melintas melewati mereka. Tak lama sekitar jarak 500 meter dari tempat mereka menonton, pickup tiba-tiba memutar arah. Ban lalu menderu kembali dan berhenti tepat di samping kiri mereka.

"Brengsek?? Apa lagi sekarang Cah?" bisik Iskandar tak enak hati.

Derap sepatu petugas kian mendekat dan kini kedua polisi berpostur tegap nan gagah itu telah berdiri di dekat mereka bertiga.

Lihat selengkapnya