Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #14

Persiapan

Sebuah warung di tepian jalan utama dengan saksi pada deru mobil dan tronton serta suara musik dari speaker murah tampak meremang romantis mendekati tengah malam. Lenggokan pemandu karaoeke seolah wedana bertubuh rapat dan daging padat menari lalu menggoda para jejaka hingga manula dengan desir suara bak pukat menjaring mangsa. Makin larut makin gila mungkin begitulah rutinitas tiap malam dari deretan warung-warung ini. Tak peduli siuran angin kencang karena los hutan akibat galian tambang atau angin laut yang masuk nyatanya membuat tubuh-tubuh perempuan yang miskin kain itu tetap bercahaya tersenyum dan merayu. Bagaimana tidak, gemulai manja dari perempuan warung akan terus larung malam dengan semangat serta tawa cekikian. 

Bagi Tama, tak ada yang lebih ramah sikap perempuan di dunia ini selain dari senyum dan tawa manja perempuan-perempuan bersolek dari warung remang. Sosok wajah keras dan sangar itu nyatanya terlihat konyol saat beradu cakap di antara wedana-wedana itu. Sambil menenggak gelas berisikan kuku bima bersoda dengan campuran gajah duduk, nyatanya bagi para wedana sikap Tama tetap ramah dan romantis. Tak peduli badannya bau asap rokok dan tak kalah gila dengan aroma mulutnya yang terasa pekat menusuk hidung antara campuran alkohol dan jigong; setiap napasnya adalah karomah bagi para wedana. Apa mau dikata, saat lembaran merah terhambur di antara paha-paha putih dan kerap nakal terselip pada satu bagian padat, jemari lembut dari wedana terus mengelus mesra dengan penuh perhatian dan kasih sayang.

Bashman yang menyaksikan kelakuan Tama hanya bisa geleng-geleng kepala. Baginya singgah di warung demikian juga telah biasa. Entahlah, bukan ia tak menikmati. Satu sisi keramaian tentu menggoda hasratnya untuk berpora ria. Apalagi dalam dompetnya juga sesak oleh lembaran merah sebagai kasta dan tahta. Sisi lain yang kelam benamkan dirinya pada kenangan hitam yang menyemburat darah dari sebuah robekan kulit. Mengingat itu tentu bukan suatu memori yang baik. Kinan oh Kinan, batin Bashman mengenang kembali.

"Pulang segera, Kinan!?" pinta Bashman dengan nada tinggi. Matanya merebang antara percaya dan tidak menyaksikan sang adik yang terus ria bahagia bersama para pria berotak mesum.

"Bos!!! Santai?? Duduk sini dan nikmati perempuanmu. Biarlah yang ini milikku" jawab seorang pria dengan kondisi mabuk hebat.

"Dia adikku, bajingan!!!"

"Ooohhh??? Rupanya begitu?" nada pria di luar akal sehatnya itu mengarah pada rasa keheranan. Bersama teman-temannya dia berkelakar kembali.

"Rupanya di tahun ini hubungan sedarah menjadi musim?"

Teman-temannya tertawa mengejek dan makin menjadi dengan bar-bar memainkan tangan menggoda Kinan. Adik Bashman itu merasa risih sebenarnya. Jelas sekali ekspresi terusik mencuat dari kepura-puraan wajahnya. Tapi mau bagaimana? Matanya yang sipit Cina itu melihat perempuan bangkong yang sedang duduk berkipas memandang Kinan dengan prasangka pembelotan. Dialah mucikari di sini. Dialah ratu dari semua betina-betina pekerja di sini. Jika perlu mungkin sesembahan itu cukup untuk mewakili derajat perempuan bertubuh tambun dan bermake up tebal di sana itu.

"Hentikan, keparat!!!" bentak Bashman yang masih mengenakan kaos kusut pulang dari memberondolnya.

Lima orang berdiri menatap Bashman dengan angkuh. Tapi mata Bashman tak kendur oleh sebuah gretakan.

Dari depan muncul dua penjaga bertubuh tinggi dan bertato. Mereka yang didapuk jadi centeng di sini tentu paham dan sudah biasa dengan cuaca panas begini.

Mereka berdua mendekati Bashman lalu berbisik dengan suara datar namun gahar.

"Kawan, pulanglah. Ku tahu ini sulit untukmu. Tapi ini pilihannya. Aku tak mau ada hal konyol di sini. Mengalah dan pulanglah. Aku acungi jempol dari caramu menatap mereka. Kau pemberani. Tapi kasihan adikmu. Dia bakal terima sanksi dari ulahmu yang ini"

"Aku di sini pelanggan tetap, bedebah!!!! Aku suka aku bayar aku ambil. Di sini semua barang yang tertera harga. Kau pihak luar, mau apa?" ucap pria mabuk itu menantang.

"Kak, kau pulanglah. Sungguh, Kak. Jangan persulit Kinan di sini" balas Kinan dengan mencoba melepas tangan bejat yang mulai merogoh gila bagian-bagian yang Kinan jaga. Sungguh hal itu merupakan ketidaknyamanannya. Ekspresinya menceritakan itu. Tapi senyumnya berusaha berbohong. Sesekali dia tepuk manja pipi dan tangan lelaki-lelaki tengik yang mengerubutinya.

"Kau yang pulang Kinan. Aku masih mampu berikan kau makan. Bukan begini?"

Dada Bashman naik turun. Uap panas jujur menyelimutinya dalam perasaan yang bertumpah ruah antara malu, marah, dan gelisah.

"Si Bungul (bodoh) ini ternyata tuli kupingnya!?"

Tentu saja kata-kata sarkas itu meledakkan tawa dari rekan yang lainnya.

"Kawan, ku mohon padamu. Jangan jadikan malam ini sulit untukmu dan adikmu" bisik preman penjaga warung kembali.

Gemuruh meledak semburkan magma angkara. Bashman renggut tangan Kinan keluar dari kungkungan iblis itu.

"Pulang, kataku!"

"Heiiii!!!!!" Pria mabuk tak terima dan meloncat serang. Dua centeng di belakangnya mau tak mau ikut terjun dalam pertikaian.

Bashman dorong Kinan dari jangkau perkelahian. Sekejap tangan kanannya sudah menyarang ke ulu hati pria mabuk itu. Dia terpental terjungkal.

"Hore!!!! Rame!!! Rame!!!"

"Ayo!! Ayo!! Ayo!!!"

Seru pengunjung warung yang lain menikmati tontonan.

Satu preman merangkul Bashman. Dia berjongkok gesit dan muncul beberapa senti keluar dari sergapan dengan tangan kiri cepat mencuri botol coca cola ukuran sedang di atas meja. Tubuh Bashman kemudian memutar tajam dengan mengibaskan botol cola ke arah pelipis kanan satu preman.

Prang!!!! Bunyi botol pecah setelah beradu dengan kepala seseorang. Satu preman itu tersungkur ke pinggir dengan kepala berputar yang sangat berat.

Suasana chaos. Pemandu-pemandu karaoke berhamburan ke pinggir yang dirasa aman dari pertempuran.

Tak terima, preman satunya lalu melayangkan jotosnya ke wajah Bashman. Shettt!!!! Pukulan itu meleset dengan jarak mungkin sepanjang jari kelingking. Bashman segera sigap dengan kuda-kuda kokohnya. Ia lepaskan satu injakan kuat ke arah dengkul preman itu.

Prakk!!!! Bunyi tulang patah atau engsel sendi yang bergeser berirama dengan pekik kesakitan dari preman itu. Sikap berdirinya langsung goyah dan segera Bashman tutup dengan menjambak rambutnya untuk ia hujamkan ke bawah.

"Brakkk!!!" Semua roti di atas piring dan minuman soda terangkat ke udara akibat benturan hebat muka vs meja.

Sahabat pemabuk di belakangnya tak tinggal diam. Dua orang meluncur ke depan menangkap dua lengan Bashman dalam posisi memunggungi. Satu orang selanjutnya segera menyibak baju kirinya. Dari sana orang itu mencabut besi tajam yang bersinar. Sebuah belati herder keluar kumpang dan merangsek menusuk gila punggung Bashman. Baju Bashman berlubang tapi seperti yang lalu-lalu, wajahnya hanya tertawa menyadari tusukan yang serasa gelitikan.

Bashman melepas cengkraman lengan dan membalik dengan dua hantaman tangan kiri dan kanan. Dua orang terdorong ke belakang. Si penusuk melongo menyaksikan itu sebelum satu tinju bulat masuk ke sela hidung dan mulutnya. Penusuk itu pun terpental dengan linang darah keluar dari dua lubang hidungnya.

Merasa tiga teman termasuk bosnya terkapar, dua orang dari komplotan itu memilih tarik posisi keluar pertikaian.

Bashman bergegas keluar warung . Bersama sang adik yang meronta-ronta tak terima, keduanya pulang ke rumah sewaannya.

Sampai di rumah, Kinan menangis dan merajuk. Dia berlari ke kamar sambil menhempas pintu lalu menguncinya.

"Kinan? Kinan!! Kau harus dengarkan nasihatku!"

"Urus dirimu sendiri, Kak. Jangan ganggu Kinan lagi. Malam ini kau kacaukan itu. Kau itu kenapa!!!" teriak Kinan sesegukan dari dalam kamar.

"Kinan??! Kakakmu ini menjagamu, Kinan!!!"

"Kau menjagaku dari apa, Kak. Jika menurutmu kau lindungiku dari orang-orang di sana, lantas kemana lindunganmu saat perut adikmu ini lapar???"

Bagai tersambar petir ucapan adiknya itu masuk ke dalam hati dan memporak-porandakannya.

Lihat selengkapnya