Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #15

Percikan dan Kobaran

Memasuki acara puncak orang-orang dari Desa Rengkat dan Jelai mulai mengerumun balai menjelang sore. Tidak seperti aruh besar di Pegunungan Meratus undangan yang datang tidak semeriah atau sebanyak di sana. Pemangku jabatan dan Dinas tidak ada dalam acara ini. Hanya penghulu dan tokoh setempat saja. Ancah yang ikut mulai kepo dengan bertanya tentang alat-alat yang akan digunakan dalam ritual. Bersama seorang penabuh dia berkeliling balai melihat-lihat.

 "Tiang besar menjulang ini bernama Langgatan dengan hiasan daun enau, buluh kuning, tumbu atau sejenis bakul, dan kain kuning. Bakul itu dari bambu dan berisi sesajen. Nah ini mau mulai" tunjuk penabuh ke satu tempat di mana ketua adat atau disebut Damang telah masuk ke balai.

"Memang sedikit keterlaluan pihak perusahaan itu. Gara-gara Asmuni ditangkap aku jadi mengisi posisi penggendang" 

Ancah duduk dalam anggota penabuh, khususnya dekat peniup sarunai. Berusaha menyembunyikan rasa kejengkelannya dengan datar dia membalas:

"Temanku, Iskandar dan Salahuddin juga ditangkap saat nekad memberondol."

"Tak bisa kita diamkan ini. Petugas berwajib juga tampak main kasar lagi sekarang" timpal penabuh gendang itu sambil berjingkat ke posisinya. Sesaat kemudian terdengar lantunan serunai dari anggota penabuh yang lain. 

Penabuh itu cukup mengerti ritme. Dia segera masuk dengan tetabuhannya. Cara permainannya tergolong unik menurut Ancah. Dia melihat tangan kanan pemukul gendang menggunakan semacam ranting sementara tangan kirinya menggendang sesuai nada serunai dan gemericik gelang hyang.

Malam mulai merambat, tetabuhan terus berbunyi. Tampak para balian mulai mengarak kelangkang mantit keluar balai. Kalangkang mantit berbentuk tiang panjang berhias daun enau warna kuning lalu di atasnya serupa sangkar burung dengan atap kain kuning. Tiang itu juga tak kalah hiasan seperti langgatan, hanya saja tentu lebih kecil dari gunungan itu.

Di halaman balai, dupa dibakar dan aromanya sungguh khas penuhi setiap sudut. Beberapa saat kemudian Damang membacakan mantera dan pengharapan. Bahasa yang digunakan bercampur antara bahasa Banjar dan Dayak.

 Ancah yang ikut keluar menyaksikan itu dan sesekali pikirannya coba menerjemahkan sebisanya. Tidak seperti mantera yang biasa ia gunakan. Bentuk rapalan ini terlalu cepat seperti sesiulan yang sangat fasih dan tenang dengan keyakinan. Usai itu Damang beserta warga yang datang mulai menghamburkan beras kuning di sekitaran kalangkang mantit sambil sorak dan sesekali memekik. Dalam benak Ancah menebak mungkin ritual lempar beras kuning ini bermaksud sebagai pelepas bala dari segala masalah yang mungkin akan dijatuhkan atau telah mendera.

Kurang lebih setengah jam ritual itu, sekarang Damang dan para balian kembali masuk ke dalam balai diikuti warga. Dengan musik masih bertabuhan di dalam balai. Di situ telah dipersiapkan persembahan berupa hewan ayam dan babi yang siap disembelih. Damang mendekat menuju posisi kembali untuk melaksanakan ritual pengorbanan. Ayam dipegang oleh seorang warga lalu disembelih dengan lebih dulu kembali dibacakan mantra. Semua bersorai. Sekarang giliran hewan babi yang diikat pada sebuah batang bambu untuk disembelih. Gemericing gelang hyang dan tetabuhan berpadu membaur untuk ciptakan sebuah pengharapan.

Tak lama beberapa warga khususnya pria yang mungkin masih ada sangkut paut dengan balian atau Damang mulai maju mendekati langgatan dengan ikatan laung di kepalanya untuk berjingkat dan menari. Ancah mengamati keragaman itu, rata-rata dari warga yang ikut menari tampak mengikatkan kain putih di pinggangnya. Riuh sorai semakin terdengar meriah. Bunyi khas gemericing gelang hyang itu benar-benar terasa mistis dan laksana sarat undangan untuk roh-roh leluhur hadir dalam acara ritual tersebut. Para pria telah berkeliling berapa putaran sekarang tiba untuk para wanita tampil dalam bungkusan tarian Babangsai. Seperti bidadari turun ke bumi lenturan tangan yang mengayuh ke depan dan belakang itu terasa syahdu. Mereka membentuk lingkaran dan tetap dalam sikap berjingkat dan mendayung. Sesekali terlihat senyum perempuan-perempuan itu terurai dalam cahaya lampu neon besar di atas langgatan. Senyumnya begitu ramah dan elegan dengan paduan patahan gelengan dagu mengikuti tetabuhan. 

Jam merambat tengah malam, Ancah masih ramai tanpa sudut mengantuk dari bola matanya. Rencananya setelah ini dia akan menonton bahantu sebagai penutup acara ini. Tapi sekelebat bayang tiba-tiba lewat di depannya.

"Para tokoh sudah berkumpul. Ayo kau juga ke sana" pinta sang Abah yang tiba-tiba datang. Ancah mengangguk dan mengerti. Dia berdiri dan keduanya berjalan meninggalkan balai.

Pada sebuah gubuk dengan atap daun rumbia banyak tokoh-tokoh desa telah mulai bercakap-cakap. Beralas tikar dari purun, tokoh-tokoh itu terlihat serius sambil sesekali mereguk kopi dan menikmati gorengan. 

"Untuk acara besok, mau tak mau kita akan bagi dua. Satu pihak akan menuntaskan ritual dengan meletakkan sesaji di sekitar makam dan petilasan berupa aneka buah pisang seperti umbur, amas, dan kidung; berbagai macam telur seperti ayam ras, ayam kampung, itik, dan telur asin; beberapa jenis bubur merah, putih, serta kuning; kue-kue tradisional kayak lamang, cucur, surabi, wajik; serta sisanya berupa sayuran mentah, lintingan tembakau dan pinang, ketupat, lalu ayam panggang. Satu pihak akan ikut dalam rombongan mewakili dua desa. Begitu amanah Damang Ampong" kata seorang tokoh penghulu menirukan.

"Assalamualaikum" salam Pak Mukhtar bersama putranya, Ancah Kutung.

"Waalaikumsalam" jawab sebagian tokoh yang beragama islam.

Dua orang itu lalu memilih posisi duduk yang masih kosong. Unai yang diminta menjadi pelayan malam itu segera mendekati abang dan abahnya untuk menuangkan kopi panas.

"Apa yang diamanahkan Damang, pasti kami setuju karena telah diperhitungkan" timpal Kades. Wajahnya tampak sedikit gelap karena kurang tercahaya lampu neon yang tertutup piringan.

Hadirin mendengarkan dengan persetujuan.

"Ada yang tahu kondisi Asmuni sekarang?" timpal seorang pemuda. Ancah tak asing dengan wajah pemuda itu. Dialah orang yang sentimen kepada dirinya dan Salahuddin saat memberondol tempo lalu. Bermaksud ingin memunculkan wajahnya agar pemuda itu ingat, Ancah menjawab:

"Aku pernah dibawa ke depan sel tahanan. Maaf, kondisi di sana bukanlah tempat yang penuh keramahan"

Pemuda itu mengamati dan ekspresinya menunjukkan setengah keterkejutan. Sisanya sebuah rasa malu yang ia balut dalam ekspresinya yang cemas.

"Maaf, bukankah kau??"

Ancah maju ke seberang lalu memulai dengan mengulurkan tangan.

"Ancah. Kita pernah ketemu dulu"

Rasa malu dan bersalah itu terbuka tanpa bisa ditutup-tutupi sekarang. Dengan ramah, pemuda itu menyambut dan keduanya berjabat tangan.

"Aku Hadran. Maafkan perkataanku dulu."

Ancah membalasnya dengan anggukan dan senyuman. Keduanya lalu kembali ke posisinya masing-masing.

"Kau berpikir positif saja" tukas Pak Mukhtar. "Setahuku masih ada cukup waktu sebelum Asmuni dipindahkan ke rutan Banjarbaru."

"Pihak berwajib yang telah disewa itu memang keterlaluan!" ucap Hadran lirih.

"Dua temanku juga dibekuk oleh mereka. Tapi sisi positifnya ku yakin, Asmuni akan baik-baik saja. Boleh tahu apa hubunganmu dengannya?" tanya Ancah.

"Beliau pamanku."

Tetabuhan masih terdengar berbunyi dalam balai. Ritual masih khidmat berlangsung. Sementara di luar sini udara dingin malam masih setia memeluk mereka dalam beku.

"Pokoknya kau tenang saja" Kades gantian bicara. "Oh iya, adakah persiapan lagi?" 

Kai Muqni yang hadir dalam musyawarah desa meberikan respon.

"Besok warga Desa Pandan juga ikut bergabung."

Pak Mukhtar sedikit kaget. Lebih terlihat kaget lagi adalah Kades. Ekspresi heran itu berkecamuk dalam wajahnya. 

"Tak usah kau menampilkan mimik begitu" sambung Kai Muqni ke Kades. "Bukannya dulu pernah kuberitahukan kalau janjangan busuk itu sungguh bau dan mengganggu. Pastinya desa itu sudah tak sanggup membendungnya. Bagaimana dengan yang lain?"

Pak Mukhtar menyeropot kopinya sedikit lalu masuk ke pembicaraan lagi.

"Saya telah meminta Ancah dan rombongan untuk persiapan lahan."

"Persiapan lahan apa?" Kades berekspresi bingung. Tak kalah, kali ini beberapa tokoh lain seperti penghulu dan balian yang ikut di situ juga menampilkan ekspresi yang sama. Kai Muqni melirik Pak Mukhtar dengan isyarat diam. Dari situ Pak Mukhtar tahu dirinya kelepasan.

"Oh, maksud saya melihat kondisi untuk aksi besok. Bukankah hujan masih sering terjadi? Saya hanya ingin memastikan jika aksi besok itu berjalan lancar dan damai."

Ancah juga sadar keceplosan sang ayah. Dia juga mengalihkan kecurigaan.

"Poster dan baleho juga siap untuk dibawa besok. Semua dalam persiapan yang baik dan matang."

"Baguslah jika begitu" ucap penghulu.

Hadirin sepakat menyetujuinya. Mereka terus musyawarah dan sesekali bahasan muncul terulang ke kegiatan ritual. Untuk mengehat energi, malam itu Ancah berikan batasan dirinya tidak akan ikut larung malam sampai Subuh. Ia harus jaga stamina untuk besok. Menurutnya malam ini sampai jam 2 saja sudah cukup.

**

Brak!!!!

Sebuah papan pengumuman tentang larangan memberondol dan imbauan untuk pengembalian alat panen perusahaan tampak rebah karena dicabut paksa oleh seseorang. Pagi itu suasana jalan hauling sunyi dari aktivitas perusahaan. Begitu juga dari keadaan pos keamanan yang kosong. Bagai serbuan burung walet yang terbang mencari makan, 200 warga dari Desa Rengkat, Jelai, dan Pandan mulai bergerak demo menuju pabrik. Derap langkah sepatu bot menerebas jalanan yang becek. Sebagian juga ada yang menggunakan kendaraan roda dua. Bersatu dan tumpah ruah, aneka macam slogan protes dan orasi-orasi memecah nuansa pagi ini. Setidaknya ada 5 tuntutan dari tiga desa tersebut, pertama legalkan aktivitas pemberondolan, kedua kembalikan lahan sengketa, ketiga jangan membuang limbah ke area pertanian atau perkebunan warga, keempat tindak aparat yang bermain hakim sendiri dalam menertibkan para pemberondol, dan kelima tunjukkan surat amdal.

Ancah berdiri pada barisan paling depan dengan membentang spanduk bernada kecaman dan peringatan. Di sekitar perusahaan yang tertutup itu dua peleton polisi brimob bersenjata lengkap berjaga mengamankan suasana. Ancah dan warga yang melihat itu lebih kepada pengamanan perusahaan.

"Kami ingin bertemu dengan Pak Robi. Kami akan berdialog dengannya tentang ini!!" seru Ancah lantang.

Di sekitaran warga yang unjuk rasa, jepretan kamera wartawan mengkilat bagai petir di siang bolong. Semuanya adalah rencana Pak Johan yang mengikutkan media agar lebih tajam dalam berjuang.

Dari sisi perusahaan sekitar 800 meter tampak barisan pengamanan perkebunan seperti Tama dan Bashman memandang nyalang. Mereka sekitar lima puluh orang berjajar berdiri maupun jongkok bersiaga dengan kadang berselimut tawa penghinaan.

Ancah memandang kerumunan penjilat itu tek lekang gentar. Dia dan yang lain tetap menyeru sambil sesekali memberikan pernyataan kepada wartawan yang mewawancarainya.

"Sudah mbak. Sudah dilakukan mediasi. Jawabannya tetap sama. Perusahaan tetap kekeh dengan surat HGUnya. Sementara beberapa tahun ini entah darimana sahnya luas lahan perusahaan terus bertambah dan menggerus lahan adat kami" seru Pak Mukhtar yang ikut dalam aksi. Dia tak mau putranya kenapa-kenapa dalam menyampaikan aspirasi ini.

"Apakah perusahaan telah jelas memastikan dan bergerak dalam klaim bahwa lahan adat desa kalian masuk kedalam perluasan?" tanya seorang wartawan.

Lihat selengkapnya