"Pemirsa, unjuk rasa warga yang terjadi di wilayah perkebunan sawit PT. K.S. Sejahtera berakhir ricuh. Bentrokan ini melibatkan dua kubu dari tiga desa yaitu Desa Pandan, Rengkat, dan Jelai melawan pihak keamanan perusahaan. Dari reporter kami yang berada di lokasi, tiga desa tersebut melakukan aksi demo untuk menuntut 5 hal yakni legalkan aktivitas pemberondolan, kembalikan lahan sengketa yang memangkas tanah adat Desa Rengkat dan Jelai, jangan membuang limbah ke area pertanian atau perkebunan warga, tindak aparat yang bermain hakim sendiri dalam menertibkan para pemberondol, dan tunjukkan surat amdal."
Usai pembaca berita di televisi menyajikan pembuka tersebut kemudian muncullah sebuah video dengan informasi lanjutan dari pembaca berita.
"Seperti tampak dalam video, sebanyak 200 orang tergabung dari tiga desa melakukan aksi unjuk rasa mengecam beberapa sikap PT K.S. Sejahtera dan oknum pihak berwajib yang terkesan berada di pihak perusahaan. Sebanyak dua pleton anggota brimob mengamankan lokasi unjuk rasa. Demo yang terjadi pada senin pagi itu awalnya berjalan lancar dan tertib sebelum kemudian terdengar sebuah ledakan besar dari perusahaan yang diduga bersumber dari salah satu alat produksi. Mendengar ledakan tersebut warga desa yang berada di depan pintu masuk perusahaan dan mempercayai adanya musibah jika mencoba memperkusi tanah adat mereka lantas tampak bersorak. Rupanya aksi sepontan dari warga itu tak bisa diterima pihak sekuriti perusahaan yang juga ikut berjaga di sekitar area pabrik. Kedua kubu lantas saling olok dan berakhir pada penyerangan. Melihat pihak keamanan perusahaan maju untuk menyerang sebanyak 200 warga tergabung dari 3 desa itu ikut merespon dengan maju sambil menghunuskan aneka senjata tajam. Bentrokan akhirnya tak dapat dihindari, sebanyak 25 orang baik dari 3 desa, pihak berwajib, dan pihak keamanan luka-luka terkena sabetan. Sepuluh orang terdiri dari 2 orang warga Desa Rengkat, 2 orang warga Desa Jelai, 1 orang warga Desa Pandan, dan 5 orang dari pihak keamanan perusahaan dinyatakan tewas di tempat."
Ancah menggeser posisi punggungnya. Rasa nyeri masih berdenyut pada bagian bahu kanan dan kaki. Unai beranjak membenarkan bantal tempat berbaring kepala sang kakak.
"Jangan terlalu banyak gerak Bang. Sangat menyakitkan jika jarum infusmu macet atau copot."
Ancah memalingkan wajah yang sedari tadi lekat pada layar televisi ke sekitar ruangan. Dia amati di sebelah cairan infus itu terdapat kantong darah bekas pakai. Dirinya menebak mungkin kekurangan darah. Ancah hela napasnya. Dalam rumah sakit dengan kondisi begini sambil membayangkan perkembangan desanya yang terancam sungguh membuatnya tak merasa nyaman. Belum lagi sambungan informasi dari berita yang masih berjalan memberinya kepastian bahwa polisi telah mengamankan beberapa orang yang diduga provokator. Pastinya Ancah akan masuk di sana. Sekarang ini; dalam posisi terlentang tanpa daya di kasur pesakitan ini, Ancah menebak pasti di balik pintu keluar itu satu atau dua polisi telah berjaga mengamankan dirinya. Semua bergumul dan terasa menekan menyebalkan. Coba menghindar dari perasaan itu Ancah bertanya kepada Unai.
"Abah ke mana?"
"Sepertinya dia ke rumah pembakal (Kades), ku lihat tadi abah menerima telpon darinya."
Ancah kembali disekap dengan perasaan tak mengenakkan itu.
"Syukur abang lekas siuman. Kami sempat khawatir karena kondisi abang yang drop selama berjam-jam."
Ancah melongokkan mata pada sebuah jam dinding di koridor bagian selatan. Astaga, jam 5 sore. Keributan itu terjadi sekitar jam 8 pagi artinya kurang lebih 10 jam dirinya pingsan.
"Abah yang paling khawatir Bang. Mengetahui darah khususnya bekas tebasan mandau pada kakimu terus mengucur dia dilanda bingung yang sangat hebat. Coba tengok sekitarmu."
Ancah menuruti Unai. Dia edarkan pada sebuah slogan dan beberapa tulisan dengan motivasi di dinding rumah sakit yang berwarna hijau itu.
Tertera di bagian bawah tulisan 'tertanda Rumah Sakit Boejashin Pelaihari.' Mengetahui dirinya dirujuk ke kabupaten yang jarak tempuhnya sekitar 3 jam dari tempanya tinggal; Ancah menyadari bahwa mungkin dirinya sempat koma.
Unai melihat lamunan abangnya lalu memberikan segelas air mineral.
"Kata dokter untuk luka tembak syukur tidak kena organ vital. Masih bisa dijahit dan disumbat pendarahannya. Tapi mereka bingung pada robekan kaki akibat senjata tajam itu."
Ancah melihat satu kakinya yang diperban dengan gerak hampa seolah mati rasa.
"Lukanya tidak merobek otot namun darahnya menyemburat hebat. Kau demam dan dehidrasi. Darahmu juga berkurang banyak. Lebih mencengangkan bahwa dokter menemukan adanya racun alkaloid atau toksin yang berasal dari jenis katak hutan. Racun itu menyebar melalui pembuluh darah kakimu. Dokter sempat kewalahan waktu itu karena tekanan jantung dan nadimu terus di bawah normal dan tak stabil atau lama meningkat."
Unai mengupas apel. Ia memainkan pisau dengan sangat terampil. Mungkin kebiasaan meraut dan mengukir membuat hal itu terasa sangat mudah. Sekejab beberapa irisan apel telah terpotong dadu. Unai mengantar piringan kecil berisi potongan apel ke kasur samping tangan Ancah. Sang abang pun mengambil satu untuk mengurangi rasa masam dan kering mulutnya.
Ancah lalu meneruskan ceritanya.
"Tahu tentang kondisimu yang kacau, abah segera ngebut untuk pergi ke balai menemui Damang Ampoy. Darinya kau diberikan sebuah minyak oles dan minyak minum. Saat kau selesai operasi dengan keadaan yang disebut dokter sebagai kritis, tanpa sepengetahuannya abah mengoles dan meminumkan minyak itu kepadamu. Alhmdulillah keadaan mulai normal. Tekanan darahmu stabil."
"Apakah itu minyak bintang?" tanya Ancah penasaran bercampur rasa ketakutan.
"Kurang tahu aku, Bang. Kau tanya dengan abah saja nanti. Abah cuma bilang minyak ini dibuat dari saripati gaib dengan proses lampah atau semedi pada kurun waktu tertentu."
"Mampus aku. Berarti benar, mungkin itu minyak bintang."
"Kalau itu minyak bintang berarti bisa hidupkan orang mati, bukan?" Unai ikut tertarik pada topik yang dibuatnya.
"Rumor itu belum jelas. Hanya kalau untuk sambungkan tulang yang patah bahkan putus itu bisa. Atau seperti ini menyetabilkan kondisi pesakitan sepertiku dari koma. Masalahnya..??" Raut Ancah mendadak menunjukkan kejelasan dari rasa ngerinya. "Orang yang telah meminum minyak bintang kabarnya jika mati bakal jadi hantu gentayangan."
Unai menjarakkan badan. Sementara Ancah malah tertawa melihat gesture polos adiknya.
"Aku bercanda, bodoh" kilah Ancah menutupi kebenaran. Tangannya bergerak mengambil irisan lagi. "Aku kasian ke abah yang pasti seusia itu kelelahan pulang pergi."
Unai menarik kursinya yang sempat ia dorong ke belakang.
"Abang benar. Ku hitung sudah tiga kali abah bolak-balik Pelaihari-Kintap. Terakhir karena telpon kades itu."
"Ya semoga saja abah baik-baik saja" jawab Ancah sambil memutar-mutar irisan dadu apel di jemarinya. Tak lama tiba-tiba terdengar bunyi ponsel mendering menandakan seorang menelpon. Ancah memasukkan potongan apel itu ke mulut lalu ia raih hp di lemari obat dekat kepalanya. Ancah lirik layar hp; itu Johan.
"Ada apa?"
"Bagaimana kondisimu?"
Ancah mendengus. Diakuinya keadaan ini sungguh payah bahkan hanya untuk mengatur napas.
"Kurang begitu baik."
"Oke. Aku ke rumah sakit sekarang."
"Sepertinya jangan dulu, Pak. Situasi sedang kolap di sini. Saya berkemungkinan diawasi petugas. Saya tak mau Anda jadi terlibat. Anda tetap fokus di dalam saja dulu."
"Ah. Tak mungkin begitu. Pihak berwajib lebih tertarik dengan umpan besar daripada ini."
Ancah merenggangkan kaki untuk percobaan. Nyeri. Sialan, dia juga harus akui ketidakberdayaan kakinya.
"Percaya pada saya, Pak. Nanti set.."
Krekkk!!! Pintu terbuka. Ancah menahan bicara untuk melihat siapa yang datang. Benar dugaannya, Lheman dan satu rekannya terlihat masuk dan mendekat.
"Saya tutup telponnya dulu" katanya diikuti bunyi tut tanda panggilan putus.
Sekejap dua pihak berwajib itu sudah berdiri di samping Ancah. Unai yang gugup segera persilakan keduanya duduk sambil menarik sebuah kursi untuk satu petugas.
"Baikan??" tanya Lheman basa-basi.