Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #17

Binatang

Tiga hari berlalu sejak bentrokan itu dan di sini Bashman telah pindah sel karena dikeroyok penghuni bui sebelumnya yaitu Asmuni Cs. Dalam sel barunya, sekarang pun mata orang-orang di situ menatapnya sebagai gerakan awal pemanasan dalam olahraga. Walau begitu, tak sedikitpun Bashman turunkan pandangan dan dagunya. Baginya, penghuni sel ini tak ubahnya seperti serangga yang bakal menggigit dan hanya hasilkan bentol menggelikan.

"Binatang!!" panggil satu pentolan geng dalam sel tersebut.

Bashman tak menggubris. Dengan baju sel warna biru keunguan dia hanya berdiri menatap luar. Kedua tangannya mencengkram deretan jeruji yang dingin. Pagi ini dia berharap seseorang datang.

Pentolan preman itu maju. Cepat dan tepat tangannya mencengkram rambut Bashman ke belakang. Posisi leher Bashman mematah menyembulkan jakun. Teman preman yang lain berteriak:

 "Kalau majikanmu ngomong denger keparat!!!!" Hujatnya sambil menghentakkan sebuah tulang siku ke leher horizontal itu.

Alhasil Bashman terjun jatuh dalam posisi duduk. Kemudian sama seperti dalam sel sebelumnya hujan tendangan segera merajam tubuhnya.

"Treng!!!!!Tengg!!!Tengg!!!! Hentikan!!! Hentikan atau ku tambah masa hukuman kalian!!" hardik Lheman yang datang bersama satu sipir karena mendengar keributan.

"Kau!!!" tunjuk Bashman. "Ikut aku!"

Sel dibuka oleh sipir itu. Bashman keluar dengan rambut semerawut dan baju kumal polesan debu tapak kaki. Tapi wajahnya sama sekali tak menunjukkan kepayahan. Sadarlah pimpinan geng dan para tahanan di dalam bahwa pria yang mereka keroyok itu bukan begundal sembarangan. Sedikit besar, ada rasa gentar dalam benak mereka. Lheman yang perhatikan ketakutan itu cuma menyeringai sambil tersenyum dengan kekaguman.

Dalam sebuah ruang interogasi Lheman persilakan Bashman untuk duduk. Ruangan ini kira-kira agak gelap dengan hanya ada satu lampu di atas meja. Jika pintu tertutup kaca mati di atasnya akan menghambat suara tembus ke luar. Di sudut atas terdapat satu kamera pengintai. Bashman memicing mata memperhatikan itu. Kedua tangannya dalam borgolan ke depan. Sementara Lheman sendiri berjalan menepi menuju sebuah lemari kecil. Di dalamnya ia raih dua botol air mineral ukuran sedang. Dengan langkah pasti, petugas itu memberikan satu untuk Bashman dan menaruh di hadapannya. Selanjutnya ia duduk sambil tangan kanannya sibuk memutar tutup lalu minum.

"Kau tau Bashman, sore ini kau akan kedatangan rivalmu. Dua hari lalu aku telah layangkan surat penangkapan untuknya."

Merasa tahu dengan sosok itu, raut Bashman segera ubah kecut.

"Bukankah seharusnya kau gembira?"

"Anda ingin tersangkakan saya dalam kasus pembunuhan?"

Lheman tertawa.

"Sejujurnya iya. Mengurangi preman sepertimu itu sudah tugas kami. Sayangnya orang sepertimu masih dipakai dan dipelihara."

Bashman memutar botol air mineralnya. Sedikit susah karena harus tersangkut rantai borgol. Ada perasaan tertusuk dari bicara Lheman kepadanya. Ucapan menohok itu jujur terasa Bashman sebagai luka hati. Ia palingkan wajahnya agar tak berlarut-larut dan ketahuan petugas penjilat di depannya.

"Tak perlu kau sembunyikan ketersinggunganmu itu. Preman tempramental macam kau dan Tama sudah sering ku hadapi. Perilaku kalian itu sama. Jika diminta berpikir kalian buntu. Jika mengendus dan berkelahi, kalian juaranya."

" Anda pikir kami bodoh?" kata tanya itu meluncur penuh tekanan dan mimik tajam. Wajah Bashman bergetar sebal dengan gigi gemeretakan. Dia tantang pandang petugas di depannya.

"Aku tak sebutkan itu. Tapi jika pintar seharusnya sadar bahwa status kalian itu sebagai pion bukan perwira" jawab Lheman meremehkan pandangan.

"Bagaimana dengan Anda petugas?" tekan Bashman dengan mata mendelik. "Katakan kepada saya apa perbedaan seorang munafik dan penjilat?"

Lheman berdiri dan kembali tertawa lebih hebat. Menurut dia ucapan Bashman itu sungguh sebuah hal yang konyol dan lelucon. Dia berjalan lalu singgah pada sebuah jendela mati lainnya; menatap keluar sambil memasukkan dua tangan ke dalam saku celananya.

"Tanpa bantuanku, Robi sombong dan cecunguk sepertimu serta Tama sudah sedari lalu amblas berkalang tanah dikubur warga desa. Kau salah menilaiku Bashman. Jangan kau anggap aku satu bidaknya. Terbalik. Robilah perwiraku. Aku pisau tajam dua sisi. Ku gulingkan dia itu perkara mudah."

"Dan menyeret Anda ke tiang tembak itu urusan ringan bagi Pak Robi!" celetuk Bashman tak tahan.

Lheman terkekeh. Masih fokusnya ke depan jendela sambil melihat hilir mudik anak buahnya dia menyeru:

"Jika ia bukan sosok kikir, mungkin itu masuk agenda dalam catatanku Bashman. Sayangnya tidak." 

Lheman memundurkan badan dan kembali ke tempat duduknya. Dua orang itu sudah berhadapan lagi.

"Kita kesampingkan soal itu. Sekarang yang inginku katakan padamu bahwa si kikir itu menjaminmu. Kau tak akan pergi ke Lapas Banjarbaru seperti rencanaku."

"Bukankah Anda bilang tadi bahwa beliau itu kikir? Mengapa sekarang bertolak belakang sikapnya?"

 Masih terkekeh "Entahlah,..prediksiku mungkin harga kebebasanmu nanti akan setimpal dengan nyawamu." Lheman membenarkan lipatan tangannya yang menempel meja. "Jangan kau kacau ini dengan dendammu, oke."

"Anda yang mencampurkan binatang itu ke sini. Lantas, peduli apa Anda dengan itu. Bukankah semakin lama saya dan hewan itu di sini maka semakin besar peluang Anda mendapat satya lencana?"

Lheman memukul-mukul meja dengan jemarinya seolah itu adalah keyboard.

"Sementara ini kau masih dipakai oleh Robi itu. Aku hanya bisa ikuti alurnya."

"Itu menunjukkan kelemahan dan kasta Anda di hadapan saya"

Setttt!!!! Dengan cepat tangan kiri Lheman mencengkram kerah Bashman. Tangan kanannya seolah rudal dengan posisi menukik siap hantam.

Bashman gantian tersenyum menyeringai.

"Pukulan Anda itu seolah angin, Tuan Pecundang?"

Bukk!!!!! 

Bashman terpental dan terjungkang ke belakang. 

Bashman sekarang yang tertawa. Tanpa mau bangun. Dia lalu mendesis bagai ular derik.

"Penjilat??? Penjilat? Merasa raja tapi tak punya mahkota."

Desisan itu terdengar Lheman. Dia berjalan mendekati Bashman yang kelesotan di lantai. Lheman menarik kerah baju Bashman lagi.

"Dengar keparat! Aku sudah tak sabar ingin benamkan wajahmu di kloset. Sampah seperti kalian buatku mendidih. Turuti maunya dan bertahan hidup saja. Selebihnya biar ku lanjutkan mengurusmu nanti!" Lheman mendorong dada Bashman dan keluar ruangan. Pintu agak dibanting. Sebelum benar-benar tertutup penuh terdengar Lheman berikan perintah ke sipir yang berjaga.

"Kembalikan hewan itu ke ruangannya!"

*

"Minyak berian abah sungguh mengagumkan" puji Ancah sambil menggoyangkan lengan kanannya. Dari rautnya yang cerah, Ancah sama sekali tak menunjukkan kesakitan. Dia lalu mencoba berdiri.

"Pelan-pelan, Bang" kata Unai memapah.

"Sepertinya tak perlu Nai." Ancah melepas papahan itu. Terasa nyaman dan ringan. Dia berjalan maju dan mundur. Semuanya seperti pulih sediakala.

Abah yang duduk mengamati ikut gembira meski batinnya ada rasa sedih. 

"Abah tak perlu cemas" kata Ancah yang membaca mimik sang ayah. "Ancah akan baik-baik saja di sana." 

"Sebenarnya untuk itu aku bisa untuk menahan. Permasalahannya??"

"Apakah biaya?" celetuk Unai. "Ku dengar untuk biaya operasi begini bukan tanggungan BPJS"

"Untuk biaya, Pak Zakaria telah membereskan semua."

" Pak Zakaria Tambang Batu Bara?" tanya Ancah tak percaya.

Abah mengangguk.

"Mengapa beliau membantu kita, Bah??" tanya Unai. Raut wajah Ancah juga tak kalah bertanya-tanya.

Mengamati kedua putranya penasaran, Abah pun mulai bercerita:

"Terima kasih karena Anda menyisihkan waktu untuk ini, Pak Zakaria."

Duduk pada kursi empuk berwarna hitam dengan ruangan berpendingin, wajah Pak Zakaria tampak cerah membaur bersama corak motif pada dekorasi dinding. Beberapa tumpukan dokumen terlihat di bawah meja. Sedangkan lembaran berkas bertindih sebuah pulpen.

"Masyarakat adalah mitra kami, Pak Mukhtar. Sekarang ada hal apa sehingga Bapak repot-repot ke sini."

"Mengenai desa kami, Pak."

Pak Zakaria segera memahaminya.

"Sungguh Pak Mukhtar, kami dari perusahaan tambang pun ikut berduka atas tragedi itu."

"Terima kasih, Pak. Permasalahannya" kata Pak Mukhtar setengah ragu. Entah, berhadapan dengan orang penting sekelas Pak Zakaria membuat lidah Pak Mukhtar seolah kelu. Padahal dari rumah dirinya telah belajar bahkan cara itu ia coba bermonolog depan cermin. Latihan berjalan lancar dan fasih, tapi sekarang seolah lepas hafalan. Dirinya jadi pecundang di hadapan pimpinan perusahaan itu.

"Bagaimana perkembangan desa pasca bentrokan itu, Pak Mukhtar? Saya dengar banyak warga yang ditangkap juga" tanya Pak Zakaria yang melihat ketersendatan maksud Pak Mukhtar.

"Benar Pak. Termasuk putra saya."

Pak Zakaria heran seolah tak percaya.

"Putra Bapak? Bukannya dia korban tembak dan bacok, Pak?"

"Iya, Pak. Tapi dia dapat surat penangkapan juga. Besok sore dia akan dibawa."

"Semakin sewenang-wenang saja perusahaan sawit itu. Lantas bagaimana kondisi putra Bapak?"

"Masih pemulihan, Pak. Lukanya mulai mengering pada bagian luar. Untuk dalam kemungkinan menyusul."

"Pastinya begitu, Pak."

Pak Mukhtar duduk dengan berusaha merilekskan badannya semaksimal mungkin. Hal ini ia lakukan agar mudah untuknya mengutarakan maksud yang sedari tadi macet dan mencekik tenggorokannya.

"Langsung saja, Pak. Niat hati saya kesini selain silaturahmi juga ingin memohon bantuan, Bapak terkait itu" Pak Mukhtar mengatur napas. Ia yakin kata-kata dalam mulutnya akan secara tertib keluar dengan penjedaan seperti itu. "Putra saya akan masuk bui atas tindakannya yang sebenarnya hanyalah mempertahankan hak. Di sini kami terus berjuang semampu dan sekuat tenaga untuk itu. Tapi jika putraku sampai masuk sel bersama pentolan desa yang lain, ini memberikan kami kerugian, Pak."

Pak Zakaria menangkap maksud Pak Mukhtar. Dengan serius ia berpikir dan menimbang. Selang berapa menit akhirnya ia jatuhkan keputusan.

"Untuk rumah sakit saya siap tutup, Pak. Tapi untuk penangkapan tersebut, jujur saya tak ada koneksi orang dalam. Saya cukup kesulitan membantu putra Bapak."

Begitulah abah bercerita kepada Ancah dan Unai. Abah melanjutkan lagi secara uraian bahwa dia tetap berusaha meyakinkan Pak Zakaria. Tetapi hasilnya tetap sama. Dari yang Pak Mukhtar nilai,ada keseriusan nada dan kejujuran dari wajahnya yang datar itu. Selepas penjelasan Pak Mukhtar tampak derap kaki mendekat disusul bunyi pintu yang terbuka. Beberapa petugas masuk ke dalam ruangan. 

"Mari saudara Ancah, Kepala Kantor Kepolisian telah menunggumu di kantor" kata seorang petugas sambil memasangkan sebuah borgolan. Dengan kehancuran yang ditahan-tahan, ayah yang teguh dan kuat prinsip itu melepas Ancah bersama petugas untuk dibawa ke kantor polisi.

*

Pada sebuah kamar di rumahnya, tepatnya di atas kasur; Pak Johan terlihat khidmat dan fokus di depan laptopnya. Rangkaian surat telah tersusun rapi dalam barisan kalimat bermakna bujukan dan permintaan pertolongan dengan rincian kejadian beserta bukti foto. Surat dalam ketikan word itu lantas ia kirim ke sejumlah alamat email. Tidak hanya surat, tapi sejumlah artikel buatannya juga telah meluncur ke koran-koran digital menunggu tanggapan. Pikirnya sekarang hanyalah publikasi untuk kejadian itu agar dukungan terus masuk dan berhasil dalam perjuangannya. Matanya tampak kering dan bengkak karena kurang tidur. Sejurus kemudian tangannya mulai merayap ke lemari kecil dekat lampu tidur untuk mengambil gelas besar yang berisi air putih. Ia teguk beberapa dan kosonglah gelas itu. Keseimbangan tubuh dan pikiran dipengaruhi bukan hanya dari nutrisi tapi juga cairan. Tak akan berakibat fatal jika keseimbangan itu terpenuhi, gumamnya penuh keyakinan. Pak Johan melanjutkan selancarnya. Kali ini jemarinya tampak menari dalam ketikan sebuah judul di layar. Ia ingin belajar mengenai berapa lama kemungkinan seorang ditahan dalam peristiwa pengereyokan atau provokasi. Harapan dari pengetahuan baru itu bagi Pak Johan adalah suplemen otak sehingga bisa saja akan digunakan pada situasi tertentu. Sebuah artikel bagus ia temukan berisikan pasal dan keringanan tersangka dari jerat hukuman. 

"Sampai kapan kau akan seperti itu?" tanya Larasati yang sejak tadi tidur siang di sampingnya. Kini matanya yang masih mengantuk itu mulai ikut melihat kegiatan sang suami. 

"Kampung Abah sedang tidak baik-baik saja. Itu perlu satu tindakan. Sementara banyak pejuang dari desanya yang mulai dijebloskan ke penjara."

"Aku perihatin dengan itu. Tapi jangan sampai kau terlalu membaur ke masalah tersebut, Sayang. Fokuslah pada keluarga. Itu yang utama."

"Aku tetap berlaku sebagai kepala keluarga, bukan? Aku tetap mencukupi keperluan kalian."

Larasati menggeser badannya dengan posisi miring menghadapi punggung sang suami. Tangannya meraih pundak sang suami yang tampak membungkuk fokus ke layar.

"Tapi belakangan ini kau begitu larut dalam dunia barumu dan seolah mengesampingkan kami. Lihat, Altar putramu. Dia yang masih sekolah perlu pantauanmu."

"Berikan aku waktu sedikit lagi."

Larasati dengan gelayut cemberut menimpal.

"Ku rasakan makin ke sini kau makin hanyut."

Pak Johan meletakkan laptopnya. Sekarang ia memosisikan badannya untuk rebahan lalu miring ke kiri. Keduanya saling hadap. Dengan wajah dingin, Pak Johan berucap.

"Semoga aku tak salah Larasati. Tapi belakangan ini aku dengar rumor yang kurang sedap. Jika kau katakan aku hanyut, setidaknya bagaimana denganmu?"

Larasati bangun dengan mimik dibuat bingung. Ia tahu ke mana arah bicara suaminya. Tapi seperti kebanyakan perempuan, Larasati akan tunjukkan sebuah pengingkaran.

"Aku hanyut? Hanyut yang bagaimana Sayang?"

Pak Johan menghela napas. Dengan mencoba sabar tanpa emosi dia menjawab:

"Aku berharap tunggu aku sebentar saja. Ku mohon itu dan sematkan setiamu hanya untuk keluarga kita"

"Tunggu" Posisi Larasati bersila sekarang. Selimut itu tersibak. Pak Johan dapat melihat tubuh istrinya yang padat daging itu. Tapi seperti yang ia tahu dari pengalaman bergaul dengan rekan-rekan peminum dalam lingkup perusahaan, bagian perut istrinya tampak penuh bergelambir ke bawah. Itu menunjukkan duga yang sangat kuat bahwa Larasati tengah gandrung dengan alkohol kadar tinggi.

"Ayolah Sayang. Kau curigai aku berbuat tidak-tidak. Mana mungkin aku begitu? Kebanyakan masalah membuatmu mempunyai pikiran liar."

"Yah. Ku rasa mungkin begitu" ucap Pak Johan. Dia beranjak duduk kembali. Tak mau berlama-lama dengan itu yang tentunya bakal berbuntut cekcok, dia memilih bangkit berdiri.

"Kau mau ke mana lagi Sayang?"

"Aku mau lihat putraku, Altar."

"Tapi aku belum selesai"

Sambil membenarkan baju yang tampak kucel, Pak Johan menimpal:

"Aku perlu tindakan nyata istriku. Tak perlu cemas jika memang kau sesuai jalan."

Larasati mengangkat kedua tangannya.

"Sungguh. Kau tak mempercayaiku?"

"Aku percaya sekali denganmu istriku. Aku percaya kau istri yang akan temani putraku saat sukses nanti."

"Tapi wajahmu tak cerminkan itu Sayang?"

Pak Johan sangat paham dengan ini. Perempuan kebanyakan begitu. Penutup sebuah kalimat segera ia ucapkan sebelum berlarut-larut. Dengan mendekatkan diri, sambil cium kening Larasati Pak Johan seusaha mungkin menyelimuti kecurigaannya.

"Sungguh. Aku percaya"

Dari situ Larasati merasakan sebuah ketenangan dari rahasia besar yang ia kungkung dalam-dalam.

Pak Johan menyisir ruang tengah. Sesekali matanya hinggap pada foto yang menempel di dinding motif vulkadot itu. Dia ingat foto keluarga kecilnya saat masih merintis dulu. Nuansa hitam, merah, abu, memberikan warna dalam kenangan pikirnya. Betapa sungguh kebut itu berusaha ia sibak-sibakkan untuk sampai pada dasar pijakan sekarang. Pak Johan kecut dan menggigit bibirnya. Sebagai kepala rumah tangga dia cukup teguh mendengar sorotan-sorotan warga mengenai polah istrinya. Tapi seperti barusan, Larasati akan berkelit bahkan mungkin sekali akan mendorongnya masuk ke jurang kesalahan.

Lihat selengkapnya