Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #18

Sang Pemberangus

Sebuah pagi memudar oleh halimun dari hujan yang menderu kala malam. Dari kejauhan sang surya masih berkelumbun selimut mendung. Lagi dan lagi; seolah di permainkan alam, air sungai naik dan mulai merembesi pelataran dua desa yang masih luka oleh lubang dan bekas banjir tempo lalu.

Pada sudut emperan rumah; bersandar satu tiang, Pak Mukhtar tanpa bersemangat meneruskan beberapa sulatan hulu mandau. Dia terpekur sambil menghisap rokok. Harapannya mungkin itu bisa meredakan kecamuk hati yang menderanya. Biasanya pula saat musim gerimis begini, dirinya telah sibuk oleh kegiatan persiapan banjir. Nyatanya pagi ini semangat pria berumur itu susut berketebalikan dengan keadaan lingkungan sekitar. 

"Bah. Makanan sudah siap, lebih baik Abah makan dulu" bujuk Unai yang tampak mendekat dari dalam rumah. Tak kalah kusut wajah Unai, tapi dirinya coba untuk tegar-tegarkan. Dirinya tak ingin larut mengingat itu bisa berakibat buruk kepada sang abah. 

"Buatkan kopi lagi, Nai?"

Unai memperhatikan kondisi sang abah. Di samping abah terlihat gelas besar yang hanya sisa ampas hitam. Ini kali kedua abah meminta Unai. Bukan seperti kebiasaan sebelumnya. Tekanan itu sungguh memporakporandakan sang abah meski lazim wajahnya biasa menunjukkan roman ketenangan.

"Abah sudah segelas besar habis. Mending makan dulu baru minum kopi lagi" sahut Unai sedikit cemas karena takut Pak Mukhtar marah.

"Dalam kondisi tak mendapatkan keramahan hidup, kopi dan rokok adalah sebaik-baiknya kawan untuk pria, Nai"

"Tapi ini sedikit berlebihan, Bah?"

"Assalamualaikum??" salam seorang. Abah dan Unai tak menyadari itu. Pria berjaket dari balik pohon jambu tampak muncul.

"Waalaikumsalam" balas Abah bergerak dengan tak lagi bersandar tiang. Sulatan ia tinggalkan. Mereka berdua kenal dengan tamu yang sekarang di hadapannya lalu beranjak menyambut. Yah, itu Pak Johan.

*

"Apa!!!! 6 dum truk pabrik mengalami mati mesin???" ucap kaget Pak Robi saat Bu Sardah yang sebagai askep memberi laporan.

Di kantornya Pak Robi yang sebelumnya tampak asik dengan coret-coretan kertas dalam pembukuan di atas meja segera berdiri maju untuk ke tengah ruangan. 

"Apa ini ada hubungannya dengan medan berair itu?" 

Bu Sardah yang masih duduk hanya memutar punggungnya. Dari posisinya terlihat Pak Robi mondar-mandir. Juga sekarang baru Bu Sardah pahami bahwa baju hem putih yang dikenakan bosnya itu kucel tak disetrika. Mengamati itu, Bu Sardah yakin bahwa sampai hari ini pun Pak Robi pasti masih gundah hingga tak perhatikan kerapian. Berbeda jauh sebelumnya bahwa atasannya tersebut termasuk pribadi yang bersih tak menolerir tentang hal berbau kusut.

"Menurut Pak Johan selaku kepala mekanik dan teknisi memang ada kaitannya dengan hal itu, Pak. Apalagi beberapa kendaraan angkut barang itu seharusnya sudah banyak mengalami pergantian onderdil di sana sini."

"Lantas bagaimana? Apa masih memungkinkan untuk pengangkutan. Mesin conveyor perusahaan masih dalam perjalanan. Sementara itu kita hanya bisa distribusi buah sawit mentah ke pelabuhan dengan tongkang. Jujur saja, semua kekacauan ini perlu pembiayaan mahal dan menyiksaku."

 Pak Robi terduduk. Dari saku baju; Bu Sardah melihat Pak Robi mengeluarkan sebuah kotak obat. Bu Sardah yakin itu obat penenang. Apa itu jadi kebiasaan Pak Robi selama ini, pikir Bu Sardah. 

Pak Robi menelan satu kapsul dan mendorongnya dengan air. Ia hembuskan napas berusaha melegakan diri. Mungkin beberapa menit lagi jiwanya dapat sedikit tentram. 

"Selain beberapa masalah tentang kebocoran, dinamo yang tak berfungsi itu harus segera diganti. Sayangnya benda itu tak tersedia di pulau ini. Kita harus cari di pusat, Pak."

Sekali lagi harus Pak Robi dengar tentang ketidaklengkapan alat dan sulitnya pencarian. Seperti lalu-lalu, Pak Robi duduk di sofa dan mulai merangkum wajahnya. Biaya alat produksi dan sekarang pengangkutan; belum lagi tentang asuransi para satpam yang jadi korban luka bahkan meninggal. Himpitan lainnya datang dari desakan produksi serta kebutuhan dari para mitra perusahaan. Harus Pak Robi akui, semua masalah ini buatnya seolah gila dan sekarat. Gerah mulai terasa memeluknya. Jika diteruskan, hal ini pasti berujung kekacauan sikapnya. Obat itu akan lambat bereaksi. Mungkin malah tak bekerja. Apalah daya jika ego kini bermain dan tunduk pada emosi. Kacau!! Yah. Bisa kacau jika berlarut-larut, batin Pak Robi. Oleh sebab itu kewarasan yang masih tersisa darinya memerintahkan Bu Sardah untuk meninggalkan ruangan.

*

"Jadi kemungkinan besar 10 hari lagi mereka akan disidang?"

"Benar, Pak Mukhtar. Jika prediksi saya benar, mereka pasti akan dapat tuntutan denda dari jaksa dan hukum pidana paling tidak 3 tahun. Setelah itu pasti mereka akan di pindahkan ke lapas Banjar Baru." Di sela percakapan itu tampak Unai datang dan membawa segelas kopi.

"Apakah Anda baik-baik saja, Pak?" tanya Pak Johan.

Unai mendekatkan mulut ke telinga Pak Johan. Unai membisikkan satu atau dua kalimat. Mendengarnya Pak Johan segera paham.

Pak Mukhtar melihat sekeliling dengan ekspresi pudar. Hatinya memutarkan sketsa-sketsa kegelisahan andai benar bahwa Ancah akan dipindahkan dan ganjaran 3 tahun. Dari bayangan buram atas ketidakberdayaannya, seolah muncul sosok isterinya. Pak Mukhtar merasakan sebuah kepayahan yang nyata atas dirinya. Maafkan aku karena gagal mendidik putramu, bisiknya dalam hati.

"Saya telah menghubungi seorang teman, Pak. Mudahan berkenan membantu. Dia bekerja di kepolisian pusat di Banjarmasin"

Wajah Pak Mukhtar mendadak berubah rona. Hal ini bisa terlihat dari guratan pipi dan sekitar pelupuk mata yang menampilkan kecerahan. Senyumnya pun mulai merangkak naik.

"Benarkah itu Johan?"

"Benar Pak" jawab Pak Johan sambil mengangkat gelas kopinya. "Selain itu ada hal bagus juga yang bisa saya sampaikan" lanjutnya sambil mengeluarkan sebuah kertas prinan. 

"Ini, Pak" menyerahkan ke Pak Mukhtar. Unai mendekat dan merapat seolah menempel kepalanya itu di bahu kanan Pak Mukhtar. Anak dan bapak tersebut fokus membaca sekarang.

"Surat dari DPRD Komisi IV?" tanya Pak Mukhtar membaca bagian pengantar surat.

"Begitulah, Pak. Tampaknya mereka membuka ruang untuk berdialog?"

Pak Mukhtar melipat surat itu. 

"Jadi bagaimana lanjutan rencanamu, Johan?"

Pak Johan memudahkan badannya agar susunan kalimatnya baik dan terarah. Ia kini memilih menyandarkan punggung di dinding teras. Meskipun pikirannya membaur dengan permasalahan keluarga, ia ingin merehatkan sejenak tentang hal itu. Cukup jelas baginya bahwa tujuan utama adalah desa. Tanpa terbersit satu keraguan, dirinya pun menimpal:

"Kita harus sambut peluang baik ini. Tampaknya bulan-bulan ini akan mendekati sebuah pemilihan umum. Biasanya saat saya layangkan email tentang suatu hal kepada mereka, kebanyakan masih bergeming diam. Tapi balasan email itu adalah sebuah peluru untuk acuan. Ini kesempatan bagus, Pak. Sesuai jadwal yang mereka lampirkan dalam minggu ini; mari kita siapkan orang terbaik untuk menemui mereka, Pak."

Pak Mukhtar mengangguk setuju.

*

Ruangan kepala kepolisian ini tampak benar bernuansa edukasi. Bagian ornamen dibuat dengan sangkut paut tentang keadilan. Bermacam slogan tentang pengayoman masyarakat baik tempelan atau ukiran nyatanya menghiasi hampir semua tepian ruang. Di meja kerjanya selain berkas yang tertumpuk rapi juga terhias pendulum dan patung dewi keadilan. Kepala Kepolisian kantor ini adalah sosok pria tegas yang berdisiplin tinggi. Duduk pada sebuah kursi singgasananya, AKP Ramdan sedang menelisik sebuah berkas tentang catatan keriminal. Matanya tajam dan telaten membaca setiap data yang tertera di sana. Berkas itu coba ia sesuaikan dengan beberapa pengaduan masyarakat dalam bulan ini. Ia balik satu lembar dan bandingkan dengan berkas yang sejak tadi ia kulik. 

AKP Ramdan menekan dua matanya dengan pangkal tapak tangan. Satu hal yang buat giginya gemeretakan sekarang. Semua aduan dari masyarakat sedang fokus-fokusnya mengomentari prilaku satu anak buahnya. Siapa lagi jika bukan Iptu Lheman. Memang diketahui oleh AKP Ramdan bahwa dirinya termasuk yang menyetujui tentang izin perlindungan untuk sektor persawitan itu, tapi Iptu Lheman yang ia percayakan sebagai pengomando lapangan makin ke sini tampak ugal-ugalan dan kelewatan.  

Beberapa hari lalu telah ia panggil Lheman untuk menghadapnya. Mencoba berdiskusi secara baik-baik dan membangun terkait pengamanan pada insiden demo berdarah itu. Tapi seperti pandai bersilat lidah dengan bukti dari video dan juga saksi pihak perusahaan, mereka seolah memaklumi sikap ketegasan Lheman dalam pengamanan. Pagi ini AKP Ramdan telah menghubungi Lheman untuk membicarakan hal lain. Tapi masih terhubung dengan insiden itu. Tentunya laporan dua sipir tentang kelakuan Lheman yang seolah melakukan perlawanan atas keputusan AKP Ramdan buatnya makin gelisah.

Di luar ruangan saat kaki Lheman hendak melangkah masuk untuk menghadap; sebuah telepon mengusik sakunya. Dia lihat siapa orang tersebut, tak ada nama. Ini kali ke-3 panggilan yang sama. Memang biasanya tak ia gubris jika seseorang menghubungi tanpa ia kenal nama kontaknya. Tapi sudah berulang kali, pikirannya mengalir ke arah sebuah hal penting. Lheman pun bergerak menekan tombol hijau pada kanan layar ponselnya.

"Haloo petugas Lheman?" suara seorang pria.

"Benar. Anda siapa?"

"Saya Zakaria" 

Lheman sedikit kaget. Mungkinkah beliau pemimpin perusahaan tambang PT Sinergi? Dia lalu memastikan.

"Pak Zakaria dari PT Sinergi Alam Cahaya?"

Lihat selengkapnya