Jamur Janjang Jingga

Heri Haliling
Chapter #19

Layu Sebelum Berkembang

Tak butuh waktu lama, cukup dua hari sejak Pak Mukhtar memperoleh informasi dari Pak Johan mengenai keterbukaan anggota DPRD Komisi IV Banjarmasin untuk bersedia temu dialog membahas permasalahan tanah adat; maka malam ini telah Pak Mukhtar kumpulkan beberapa tokoh desa Rengkat dan Jelai untuk persiapan.

Pemilihan lokasi rapat tentunya di balai Desa Rengkat. Pak Mukhtar yang terlebih dahulu memohon izin kepada Damang Ampoy diperkenankan menggunakannya. Dalam sebuah pertemuan kirinya selepas Isa, selain para undangan seperti Damang Ampoy, Kades, Kai Muqni, Pak Johan, dan Hadran; Pak Mukhtar juga meminta dua tokoh Desa Pandan untuk datang yaitu Pak Ahad dan Mustofa. 

Sajian kue sederhana berupa pais pisang dan waluh, gorengan bakwan, ontuk, serta kacang goreng bersanding serasi dengan gelas kopi hitam panas pada hadapan tamu undangan. Dalam pambukaan awal tentu Pak Mukhtar menyampaikan sambutan permohonan terimakasih untuk kemudian meminta Pak Johan memaparkan informasi perihal bahan musyawarah. Isi yang disampaikan begitu tersusun rapi sehingga hadirin yang ikut rapat malam ini tak ada satupun yang menyela.

"Kiranya demikian informasi yang saya peroleh, Pak. Mari kita bahas bersama tentang hal ini." 

Kades yang merasa pentolan desa kemudian memulai sebagai penanggap pertama.

"Selain yang disampaikan Pak Johan, ada sedikit tambahan lagi. Kita juga memperoleh dukungan dari LSM Pelaihari yang turut prihatin atas tragedi beberapa waktu lalu. Hanya saja saya belum mengajukan permintaan dukungan secara langsung kepada mereka. Para tokoh LSM tersebut untuk sementara hanya mampu meneruskan dukungan melalui petisi yang dibungkus secarik surat untuk ditembuskan sampai ke Presiden. Bunyi petisi itu tentu penolakan dan kecaman atas prilaku sewenang-wenang aparat serta perusahaan kepada warga sipil yang menuntut haknya."

"Wah bagus itu. Saya yakin mereka akan ikut berpartisipasi saat temu wicara nanti, Pak Kades" kata Hadran dengan jiwa mudanya. Wajahnya yang begitu semangat terbungkus satu kecemasan yang berupaya ia tutupi. Hadran termasuk yang beruntung karena saat penangkapan dia sempat lari menerebas perkebunan. Kejaran polisi itu berhasil ia kelabuhi setelah Hadran menceburkan dirinya ke parit kecil yang biasa ada di dekat pohon sawit.

"Menurut saya tidak ada salahnya jika kita meminta bantuan pengetahuan mereka dalam pertemuan nanti, Pak Kades. Tentunya orang kabupaten itu lebih banyak yang berpendidikan dan mengenal banyak pasal serta pelanggaran-pelanggaran tentang penyalahgunaan HGU perusahaan" ujar Pak Mukhtar. 

Damang Ampoy masih khidmat menyimak. Hanya sebatang rokok kretek yang sejak tadi menjadi ruang geraknya. Tampaknya beliau hanya menunggu sebuah kesimpulan dari hasil pertemuan malam ini.

"Kami dari Desa Pandan setuju untuk melakukan pertemuan. Tinggal tentukan hari apa untuk ke sana" tukas Ahad selaku orang yang lebih tua dari Mustofa. Melihat perawakan dan sorot matanya, Pak Johan yang diam-diam mengamati dan membaca; kurang lebih Pak Ahad mungkin seorang petani atau pemberondol. Warna kulitnya hitam karena panas dan tapak tangannya terlihat kasar dan berkapal. Itu Pak Johan rasakan saat awal keduanya berjabat tangan.

Melihat wajah Pak Ahad sebagai perwakilan Desa Pandan, tak tahan rupanya Pak Kades untuk meminta maaf karena banyak warga dari Desa Pandan yang menjadi korban.

"Sudahlah, Pak Kades. Kami ikut bergabung tempo lalu karena merasa senasib dan sepenanggungan. Tentang tragedi itu kami pun merasakan bukan sebagai sesuatu yang sengaja kita kehendaki. Semoga saja setelah ini perusahaan itu mau berbenah diri dan lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Ngomong-omong bagaimana Anda tidak ikut tertangkap di sana, Pak Mukhtar?" tanya Pak Ahad yang memang sudah kenal. Pekerjaan Pak Mukhtar sebagai pengerajin tentunya telah cukup membuat namanya tenar antar desa. 

Hadirin yang lain sekarang fokus kepada Pak Mukhtar yang hendak menjawab. 

"Sebenarnya polisi itu juga hendak menangkap saya. Tapi karena kasihan saat mengetahui saya yang bolak-balik Pelaihari-Kintap untuk mencari obat Ancah, akhirnya saya tak masuk daftar mereka. Anda sendiri bagaimana?"

Pak Ahad membenarkan kakinya yang bersila. 

"Saya waktu itu ikut juga mendemo. Kami memang berencana gabung meski tak ikut rapat. Sebenarnya saat penyerang dari para sekuruti perusahaan itu datang kami dari Desa Pandan panik dan memutuskan lari. Tetapi mungkin karena ikut orang banyak, entah mengapa kami ikut saja menyerong. Kami terkejut juga karena banyak parang, tombak, dan mandau yang telah disediakan. Reflek dan terdesak kami ikut menyerang. Yah.., saya pribadi kurang lebih sama saja dengan saudara Hadran."

Sampai pada titik ini Kades sedikit kecut saat menatap Pak Mukhtar. Sementara Pak Mukhtar sendiri merasakan hal tersebut.

"Lantas bagaimana putramu sekarang, Mukhtar?" tanya Kai Muqni yang ikut penasaran.

"Alhamdulillah baik. Kemarin saya kesana menengok. Dia dapat teman satu sel yang cukup ramah meski badannya tampak kurus."

"Oh jadi tidak satu sel dengan Asmuni dan lain-lain?"

"Tidak, Pak Ahad" potong Hadran. "Putra Pak Mukhtar awalnya direncanakan bersama mereka. Itu kata paman saya, Asmuni. Tetapi ternyata seolah dipermainkan. Bahkan saat awal mereka bertemu, petugas yang bernama Lheman itu seperti bermain koboi jalanan. Hal itu buat paman saya takut. Saya juga sempat berkunjung. Paman saya malahan belum bisa beradaptasi. Badannya bertambah kurus dan bingung."

"Astagfirullah" sebut Pak Kades yang usai meneguk kopinya. "Koboi seperti apa itu Hadran?"

Hadran menjelaskan seperti yang dialami pamannya, Asmuni. Dengan mimik dan gesture yang meyakinkan penjelasan itu tentu membuat hadirin merasa geram dan bersungut-sungut. Bahkan, Kai Muqni sampai menimpal akan menebas leher petugas itu saat bertemu. Ucapannya tersebut lalu disambut dengan tawa karena memang kejengkelannya yang seolah bercampur dengan semacam guyonan.

"Satu sisi kami bersyukur karena setelah tragedi itu, perusahaan tampak sering mengalami musibah" ungkap Mustofa masuk pembicaraan. Dia pria muda sepantar Hadran. Lebih tinggi dan roman serius. Satu hal sebagai tambahan, Mustofa mengenakan satu tindik telinga bagian kiri. Itu mempertegas lakunya yang bukan sebagai pria rumahan atau miskin pergaulan.

"Kau benar," Hadran menyambut "sudah jelas itu karma mereka. Sekarang manager botak itu kelimpungan cari tutupan. Salah-salah banyak karyawan akan dirumahkan. Tetua tak pernah tidur. Dia berjuang dalam bias. Kita patut ikuti gerakan roh-roh suci itu!"

Kai Muqni menatap Pak Johan dengan sirat tidak bersahabat. Pandangan itu berlaku vonis. Pak Johan yang paham perlakuan terhadapnya berusaha hilangkan kecurigaan. Pak Johan memakan hidangan. Tapi dari sudut mata itu tetap dengan posisi awal; desakan kecurigaan belum hilang dari mata tua sang ayah. Usai dengan beberapa biji kacang, dengan mulut bersih tersiram kopi; Pak Johan bicara dengan maksud menyamarkan fokus ayahnya.

"Bapak-bapak, jadi bagaimana tentang hari? Apakah Senin depan bisa kita hadir? Untuk akomodasi saya siapkan. Kita berangkat dengan dua mobil."

"Bagaimana Damang Ampoy?" tanya Pak Mukhtar.

"Sesuai apa yang leluhur kita ajarkan. Kita pewaris adat dan budaya. Ayo kita berjuang!" suara Damang tegas penuh restu.

"Sayapun setuju!" seru Kades.

Semua sepakat dengan penuh keyakinan yang mantap. Selanjutnya tinggal menyusun poin apa saja yang mau disampaikan, batin Pak Johan. Dirinya pun membawa arah musyawarah ke hal tersebut. Semua tetap fokus dan saat tiba penyampaian ide, terlihat kesemuanya sangat antusias.

*

"Ada apa malam-malam begini kau menemui aku?" tanya Pak Robi kepada Lheman.

Keduanya tampak duduk di teras depan. Lheman mengenakan jaket hitam dan memakai topi, mungkin harapannya adalah bahwa dia tak mau ada orang yang tahu keberadaannya sekarang.

"Saya tidak lama, Pak. Saya awalnya mau menyampaikan ini ditelepon. Tapi agaknya Anda terlalu sibuk belakangan sehingga tak menjawab. Saya hanya menyampaikan beberapa kabar. Pertama ada seseorang yang hendak menebus Bashman. Kedua, saya dapat tengan dari atasan dan juga dua hari ini malah dari pusat untuk bebaskan Ancah Kutung. Sepertinya ada orang kuat di belakangnya, Pak. Biasanya hal begini memerlukan bukti. Saya tanya tentang itu dan pusat bersedia menunjukkan bukti bahwa Ancah tidak bersalah. Dia hanya korban dan berupaya menyelamatkan diri."

Pak Robi menunjukkan ekspresi jengkelnya. Moodnya yang sedang tak baik itu bertambah buruk saat mendengar penjelasan Lheman.

"Kurang ajar! Warga kolot itu mulai merongrong nyata sekarang. Rupanya aku menyepelekan mereka. Tapi untuk Lheman, memang siapa yang mau repot menebusnya?"

"Zakaria, Pak?"

"Zakaria???" ulang Pak Robi kaget. "Mau apa dia ikut dalam urusan ini?"

Lheman beranjak daru duduknya. Dia berdiri menghadap Pak Robi dengan menyandar pilar rumah. Dari jalan, sikapnya jelas memunggungi agar kian tersamar identitasnya.

"Mungkin Bashman hendak ia kerjakan."

Lihat selengkapnya