Kumandang azan Subuh terdengar dari sebuah surau yang langsung disambut rerata kokok ayam jantan di Desa Rengkat. Pada suasana itu udara mengambang malu untuk mengalun dari sela dinding rumah yang mayoritas terbuat dari kayu. Udara hanya diam pasrah manakala halimun sedikit demi sedikit mulai menggumul dan menungganginya.
Dalam temaram neon, pada sebuah ruangan tengah; beralas tikar dan amparan kasur usang yang dikurung kelambu; alunan panggilan suci itu mulai membangunkan mata Kai Muqni. Dengan pendekatan rohani yang kuat, lelaki tua itu mulai bangun dari mimpinya yang tak terbaca.
Kai Muqni terduduk mengatur napasnya. Hirupan oksigen itu sebuah nikmat yang ia sadari. Seutas senyum ringan terurai dari ujung bibirnya yang keriput dan ringkih. Bertopang pada tekad dalam perjanjian antara Tuhan dan makhluknya, Kai Muqni mencoba berdiri lalu mulai melangkahkan kaki keluar pintu untuk berwudu.
Pintu depan terbuka, kabut alam pertama yang bersentuhan dengan wajahnya. Dingin dan seperti hinggap debu-debu beku, sepasang tangannya secara reflek memeluk bahu.
Jika begini bukan salah tubuhnya bila melakukan gerakan sendiri. Tanpa kontrol pasti, mulut Kai Muqni menguap lalu menggelengkan wajah sekian detik guna menemukan keseimbangan diri. Lamat-lamat ia sekarang berdiri di beranda untuk mendekati sebuah padasan air. Akan tetapi baru sejengkal geraknya, mata tua itu menangkap sosok pria berjaket hitam tengah tidur melingkar sambil mengelumunkan diri dalam sarung di sudut serambi.
"Johan????" panggil Kai Muqni dengan heran berlapis keterkejutan.
*
Tunai sudah satu kewajiban yang Kai Muqni yakini sebagai bentuk penghormatan atas penciptaan dirinya. Masih mengenakan sarung dan peci ia lalu menggeser duduknya untuk melihat sang putra.
Pak Johan duduk menyandarkan diri pada sebuah dinding kayu. Wajahnya lemas tanpa cahaya, begitu juga matanya. Sementara itu kantung mata Pak Johan cekung kehitaman. Kedua tangannya tampak meremat gelas berisi kopi yang masih hangat.
Kai Muqni menghela napas kesabaran. Beberapa menit lalu telah Johan sedikit ceritakan penyebab dirinya tidur di emperan rumah sang ayah. Sebagai orang tua yang menyayangi putra terlebih cucunya, tentu darah Kai Muqni ikutan mendidih mendengarkan cerita singkat Pak Johan tentang keadaan Altar.
Akan tetapi karena telah terniat dari awal bahwa sekilas waktu hendak Kai Muqni gunakan untuk merengkuh Sang Pencipta dalam ketiadaan dan baluran ayat beserta doa maka gemuruh itu berhasil ia jinakkan sendiri.
"Johan? Johan?? Sekarang kau kacau begini" ujar Kai Muqni membuka cakap. "Pagi ini aku yang akan mengambil cucuku. Tunggulah di sini."
"Tidak perlu, Bah..Sungguh, Altar baik-baik saja."
"Kau ini sudah hilang hati atau kebanyakan minum air rendaman cawat isterimu, Johan!" ucap Kai Muqni bernada tinggi. Tapi batasan masih ia kuasai dalam-dalam. Bagi pria tua itu, cukup malu apabila usai seorang bersimpuh dan mengemis pada Tuhannya lalu beralih untuk tunduk pada nafsu amarah. Maka dari itu letupan tersebut secara akurat dan terukur masih dalam lingkup kontrol dirinya.
"Sungguh, Bah. Jika Abah sayang Altar, saya mohon jangan terlalu masuk ke masalah ini. Saya yakin paling sekarang Altar sudah siuman. Tak mungkin Larasati tega lakukan hal buruk saat melihat putra kandungnya dalam kondisi begitu."
"Dia bukan ibu yang baik, Johan. Jejaknya jelas-jelas telah menjadi kecacatan nyata buatku!"
"Maafkan saya yang belum berhasil mendidiknya, Abah?"
"Keluargamu demikian karena kau yang terlalu larut dengan urusan desa. Ku minta sekarang kau mundur. Kurasa masih ada waktu untuk perbaikan. Sementara Larasati?" ucap Kai Muqni penuh penekanan. "Dia tak pernah tercatat dalam hatiku sebagai alasan untuk memintamu kembali. Tapi untuk cucuku, ku mohon bawalah ke sini."
"Saya usahakan, Bah?"
Kai Muqni menemukan kesangsian baik dalam getaran suara atau lekuk wajah putranya yang kaku. Tak menerima itu, Kai Muqni memberikan ketegasan kembali.
"Aku ingin kau fokus, Johan! Kau sadar wajahmu itu begitu menyedihkan. Kau jasad yang tak memiliki roh. Bangun semangatmu! Usah kau sesali perempuan jadah macam dia. Kau pikir putramu saja!"
"Baik, Bah?"
Masih sama. Tapi sudahlah, paling tidak kini hanya komitmen berbentuk buktilah yang Kai Muqni tunggu.
"Sempat sejenak tidur. Kau istirahatlah. Besok kau ke perusahaan. Jangan buat orang lain tahu tentang lemahmu. Bekerjalah yang giat dan perbaiki ini" pesan Kai Muqni yang segera berdiri untuk meninggalkan Pak Johan. Biasanya pada jam 5 begini orang tua itu telah bersiap-siap untuk ke kebun karetnya.
*
Dengan berbalut perban kepala, Altar keluar pintu untuk berangkat ke sekolah. Tidak ada tawanya sejak insiden itu. Biasanya ibu dan anak itu akan cerah saling lepaskan sebuah keberangkatan. Nyatanya, di ambang pintu; dengan hati tak teratur Larasati melepaskan Altar. Benak Larasati tentu cemas. Satu sisi ia tahu bahwa hal ini akan terjadi. Tapi pengakuan mungkin bukan sebuah jalan keluar untuk penerimaan.
Deru motor yang dikendarai Altar mengalun pergi melewati Larasari tanpa ada rasa. Larasati menghela napas panjang melihat Altar yang berangkat tanpa berpamit salam. Pikirnya kini menuju pada kejadian setelah suaminya pergi karena keributan malam tadi.
"Aku harus ulangi ini, Sayang? Semuanya terjadi sekarang. Kau harus mengaku padanya" kata Larasati pada sebuah kamar yang melakukan kompres ringan ke dahi Altar lantaran demam. Larasati memandangi putranya yang belum bangun. Tapi dengkur dari sela hidungnya memberikan sinyal bahwa Altar dalam kondisi baik-baik saja. Itulah satu keyakinan liar dari Larasati.
"Mengaku hanya akan memperkeruh suasana. Aku keluar, hendak pulang!"
Melihat ketidakpedulian Handarbeni tentu makin membuat Larasati sewot.
"Tak boleh, pengecut! Tunggu di sini sampai putramu benar-benar siuman!"
Handarbeni menekan senyumnya yang berhenti pada pertengahan.
"Aku bukan pengecut, Sayang? Tugasmu jaga dia. Tugasku bekerja. Lantas di mana salahnya?"
"Tapi aku perlu kau saat ini?"
"Kau lihat sendiri, bukan? Bocah ini baik-baik saja?"
"Aku menyesal melahirkannya jika tahu kau seperti ini, Sayang?"
"Dia lahir, kau yang mau? Aku bisa penuhi semua yang Johan tak bisa. Tapi jangan coba kau ikat aku, Sayang. Apalagi hanya bertumpu pada bocah, sedikitpun aku tak terenyuh!"
Begitulah. Larasati menyadari bahwa pria di depannya itu tampak keras. Semuanya telah hadir menjadi realita menyedihkan dan sesak. Larasati menyadari hal ini bagian dari karmanya. Hatinya diremukkan oleh dua sikap sekarang. Pertama sikap urakan Handarbeni sebagai lelaki mapan tanpa mau diikat dan diperintah dan kedua, sikap putranya yang jelas-jelas berpihak kepada ayah tirinya, Pak Johan.
Memikirkan kenyataan itu malah akan membuat depresi tak berguna. Larasati masuk ke dalam. Pintu ia kunci. Persetan dengan kenyataan. Matanya beredar menuju kamarnya. Dia melangkah.
Masuk ke kamar kakinya berhenti pada cermin riasan. Sedikit membungkuk, Larasati membuka laci. Ada dompet cincin motif rajutan bunga. Sedikit bergetar tangannya sekarang. Larasati tarik resleting kecil di dompet itu. Keluarlah beberapa pil. Dia duduk nyaman sambil senyum sekarang. Pantulan wajahnya sungguh mengerikan terlukis dalam cermin. Tanpa pikir panjang ia reguk pil kuning seperti kebiasaannya saat berada di dalam diskotik.
Menit pertama semua ringan dan senyap. Larasati tersenyum kembali. Tak guna kalah oleh keadaan dan menjadi pecundang, pikirnya. Imajinasinya mulai terbang. Semua plong sekarang.
*
Masih dalam keadaan yang sama tampak beberapa rangkaian dari potongan lori dan kepingan besar tabung conveyor tersusun menyandar dinding. Produksi terhambat dan hal itu oleh Pak Johan dirasakan secara sadar akan menimbulkan sikap sensitif di lingkungan perusahaan. Pak Johan berdiri sambil mengecek mesin panel yang mungkin masih bisa dioperasikan meski sekadar hanya memanasi. Dalam aktivitasnya pagi ini selain rasa kantuk yang menggelayut, pikirannya tentu terbebani oleh perkara malam tadi. Bahtera rumah tangga itu terhantam ombak dahsyat dan terguling sekarang. Mengapa indera penciumannya tak mengendus bau itu. Pak Johan menggigit bibirnya. Matanya beranjak mengedar lalu singgah ke salah satu kilang. Bertumpu dan memaku di sana dengan bayangan melayang ke masa lalu. Sebagai kepala rumah tangga, Pak Johan merasakan satu kewajiban yang telah ia penuhi. Bukankah dirinya telah mengangkat derajat keluarga dari yang dulu penuh kekurangan hingga kini berkecukupan. Apa iya semua itu masih kurang? Lamunan Pak Johan kemudian menyangsikan tentang arti pengorbanan. Agaknya benar anggapanya bahwa dirinya hanya sebagai perban pembalut luka. Dirinya hanya menempel dan melindungi; usai kering luka itu nyatanya sebuah perban akan dibuang karena malah jadi hambatan. Tapi kebohongan puluhan tahun itu benar-benar rapi. Ah!!! Jelas sudah posisiku sekarang, gerutu Pak Johan. Ini titik terburuk dalam pencapaiannya. Kini pikirannya beralih ke sang putra. Mau bagaimana, meski pengakuan itu layaknya petir membakar tapi cintanya tak kenal status dan pengakuan biologis. Anak tetaplah anak. Ayah tetaplah ayah. Membulatkan tekad, Pak Johan tetap akan memomongnya meski membayangkan Larasati dan Handarbeni bersama merupakan satu sikap yang begitu merajam perih dalam jiwanya. Kau bisa, Johan! Kau bisa dan kuat! benaknya tegas sambil tangan Pak Johan menggebrak besi panel.
Dari lantai atas, Bu Sardah memandang muram tentang prilaku Pak Johan. Informasi yang ia terima dari Larasati tentulah bagai mortir sekarang. Rasa tidak percaya menghujani dirinya. Namun, rentetan kekacauan yang memusingkan hingga menyeretnya dalam pusaran sasaran amarah tentu menjadikan perasaan itu tertepis. Yang tersisa kini hanya penjelasan yang mungkin hanya berlaku sebagai formalitas. Bu Sardah hanya perlu seorang terdakwa. Kini ia temukan meski sosok itu bukan dari orang jauh. Pria berwajah frustasi itu ia kenal betul. Persetan dengan kenalan. Persetan dengan objektivitas. Semua telah kacau sekarang dan hanya bertumpah ruah sebagai satu kemuakan, gumamnya.
"Pak, Johan!?" panggil Bu Sardah.
Pak Johan yang kaget karena merasa teramati secara reflek berjingkat sambil menoleh ke atas.
"Kau dipanggil, Pak Robi. Ada yang perlu kita musyawarahkan."
*
Pada waktu yang sama, di ruang interogasi Lheman memanggil dua orang yang menurutnya sebagai peliharaan istimewa. Tak lama dari ambang pintu munculah dua orang yang dimaksud. Siapa lagi jika bukan Ancah Kutung dan Bashman Lamang. Dalam kondisi terikat keduanya lalu duduk dan harus mendengarkan. Dua sipir yang berdiri di belakang tahanan lalu berjongkok dan memborgol kaki Ancah serta Basman. Borgol kaki itu terikat dengan besi kuat yang tertanam dalam lantai. Biasanya tak begitu, Ancah yang tertarik pun langsung menceletuk.
"Agaknya Anda mulai mempertimbangkan ini Tuan Petugas yang suci?"
Petugas Lheman terkekeh sambil membenarkan ikat pinggang. Dengan sengaja ia memamerkan pistol Baretta hitam yang menyelip di sana.
"Ayolah Petugas. Apa mainan itu yang mau Anda jadikan gretakan?" tukas Ancah dengan ekspresi meremehkan.
Tapi tiba-tiba dengan kecepatan penuh, Lheman mencabut pistol itu dan sekarang moncongnya sudah mencium lekat di leher Ancah. Dua sipir kaget dan menjarak mundur. Di lain sisi Bashman hanya diam seolah sama sekali tak terkejut apalagi peduli.
Dengan wajah merah bergetar penuh ketersingguhan Lheman menatap Ancah.
"Dengarkan pria kuat, aku tak tahu apa itu kebal? Aku tak belajar itu dari hidupku! Tapi satu poin yang harus kau tanam dalam otakmu yang kecil ini...," memindahkan moncong pistol ke dahi Ancah lalu memutar-mutarkannya "aku suka percobaan! Dan kau tahu? Ku pikir sangat bagus untuk hal itu di kondisimu sekarang. Tak ada salah bukan? Jika pelor ini diadu dengan tulang otakmu?"
Ancah ikut bergetar karena sadar petugas emosional di depannya itu seolah paham bahwa setelah tubuh mengalami luka, maka perlu waktu untuk memulihkan ajian agar tubuh kembali mempunyai daya kebal. Singkatnya semua proses tak cukup dengan rapalan mantera. Harus kembali ke setelan awal di mana belampah/munajat dan amalan harus terlaksana pada jam serta hari yang ditentukan. Tentunya posisi ini sangat tidak menguntungkan.
"Katakan padaku, Pria kebal??? Apakah kita coba sekarang, hah?" kata Lheman melotot dengan tampilan mimik gilanya.
Ancah diam. Tubuh besar itu mendadak berpeluh dingin. Lheman mengamati itu. Ia tersenyum aneh. Merasa gretakannya masuk, acungan pistol ia tarik. Lheman kembali duduk dan memilih mengeluarkan sebungkus rokok.
"Kalian berdua, kembali ke ruang pengawasan saja. Ini urusanku!" pinta Lheman kepada dua sipir. Keduanya menurut dan dengan sapaan kehormatan, mereka berlalu pergi.
Asap putih kebiruan membumbung sekarang. Di antara kelebatan asap, Lheman mengamati Bashman yang gantian terkekeh aneh. Prilakunya itupun menarik perhatian Lheman.
"Apa yang kau tertawakan, jagoan?"
"Mood saya sedang baik" memandang Ancah yang tampak pucat tertekan. Masih dalam keadaan senyum, Bashman menyambung "apa yang Anda inginkan dari kami, Petugas?"
"Sebelum aku ke sana, apa darahmu tak mendidih ketika sekarang ku sandingkan kalian berdua?" tanya Lheman provokatif.
"Saya tak tertarik membantai binatang tanpa cakar dan taring" jawab Bashman. Wajahnya sangat merendahkan. Semua tampak dari mata yang lepas kontak dari Ancah.
"Jikapun Anda lepaskan borgol sialan ini, tanpa ragu saya tetap berani menghabisi penjilat sialan ini, Pak!" sergah Ancah yang merasa disepelekan. "Tanpa embel-embel kebal pun pasti dia akan tumbang!"
Bashman mendorong napas dari hidungnya. Selanjutnya ia tampilkan sebuah sikap menggeleng kepala.
"Bagus!!! Aku hargai semangat itu. Aku berharap segera hal itu terjadi. Tapi lingkungan ini terlalu suci untuk salah satu atau kalian berdua mampus di sini" Lheman berdiri "ada kabar yang sebenarnya tak ku suka sekarang. Aku kesulitan untuk membuat kalian busuk selamanya di Lapas Banjarbaru sesuai rencana awalku kemarin. Kalian punya harga di mata seseorang. Sungguh menyebalkan, tapi harus ku telan fakta sialan itu."
Keduanya tentu terkejut.
"Saya akan segera bebas?" tanya Bashman yang diliputi roman senang.
"Bodoh!!! Dia hanya mempermainkan kita" kata Ancah yang teringat dengan prank Lheman beberapa hari yang lalu. "Langsung saja. Apa yang Anda rencanakan!"
Lheman terkekeh.
"Kau pesakitan yang lambat move on ternyata. Terserah saja. Intinya besok malam terpaksa kalian akan ku bawa untuk kembali ke hutan."
Sekarang pikiran Ancah dan Bashman berkecamuk. Tapi sebelum itu mencapai puncak, Lheman segera memanggil satu sipir.
"Penjaga!!"
Satu orang petugas berperawakan tegap segera datang lalu berikan hormat.
"Bawa Bashman ke selnya!"
Bashman heran mengetahui hanya dirinya yang diminta pergi. Dia mulai membenarkan prasangka Ancah. Tapi daya tak ada kecuali penurutan. Paling tidak di dalam sel, aku akan memikirkan ini kembali, batin Bashman sambil patuh menuruti.