JANDA & THE TABLE

glowedy
Chapter #3

CHAPTER 2 - Kebaya Biru dan Guilt yang Tak Mau Pergi

Maria Sukendar menata bros zamrud warisan mertuanya dengan pelan, seolah permata itu masih punya pendapat soal letak yang layak di dada kanan kebayanya. Kebaya biru muda itu ia kenakan dengan ritual khusyuk: disetrika sendiri, disemprot parfum mawar Turki, dan digantung semalaman agar “arwah kainnya tenang.”

Cermin di depannya memantulkan sosok perempuan 49 tahun yang selalu tampak sepuluh tahun lebih muda karena pola makan makro, facial bulanan, dan… doa malam yang tak pernah ia tinggalkan sejak suaminya meninggal enam tahun lalu.

Maria bukan sekadar janda. Ia adalah simbol: perempuan saleh, elegan, dan tidak pernah membicarakan laki-laki di meja makan.

Tapi pagi ini, tangannya sedikit gemetar. Bukan karena usia. Tapi karena suara itu lagi.

Dari radio kecil di sudut ruang tamu rumahnya yang luas tapi sepi, mengalun lagu lawas—Kekasih Bayangan. Dan seperti tersihir, ingatan itu kembali.

Pria itu.

Suami sahabat suaminya.

Mereka dulu sering rapat bareng. Terlalu sering.

Dan satu kali, hanya satu kali, Maria mengizinkan dirinya merasa… dilihat.

“Lagu ini, Mbak…” ujar Mbok Narti, asisten rumah tangga yang setia sejak zaman reformasi, “dulu kayaknya sering diputarkan Bapak kalau lagi di mobil, ya?”

Maria hanya tersenyum tipis. “Zaman sekarang, semua lagu bisa bikin dosa. Tergantung siapa yang dengar.”

Ia melangkah ke ruang kerja kecil di belakang rumah. Di sana, di antara buku agama, Al-Qur’an yang sudah dua kali khatam, dan sertifikat penghargaan dari berbagai komunitas sosial, tergeletak satu amplop putih.

Amplop itu sudah ia buka sejak kemarin. Tapi baru hari ini ia berani menatapnya lebih dari lima detik.

Isinya sama seperti yang Serra dan Lidya terima.

Lihat selengkapnya