Penthouse milik Serra hari itu lebih hening dari biasanya. Chandelier Baccarat tetap menyala seperti kristal yang enggan redup, tapi tak ada musik chamber dari speaker tersembunyi seperti biasa. Tak ada nyanyian instrumental Bach atau Mozart. Hanya suara sendok teh menabrak piring kecil dengan dentingan yang terlalu jelas.
Lidya duduk di kursinya, mengenakan setelan silk dusty pink dengan bros Chanel berbentuk singa di dada—mungkin untuk menegaskan bahwa ia masih bertaring. Ratna, berbalut atasan linen abu-abu lembut, lebih banyak diam. Blazernya hari itu bukan putih, melainkan hitam tipis, seperti semacam penanda kabut batin.
Dan kursi Maria… kosong.
Di atas taplak bordir, cangkir Limoges milik Maria tetap disiapkan. Tehnya mengepul pelan, lalu mendingin seiring waktu yang diam dan penuh tanya.
"Dia enggak jawab chat, enggak angkat telpon," ucap Serra akhirnya. Suaranya datar. Bibirnya merah marun sempurna. Tapi matanya menyimpan tekanan.
"Maybe she just needs space," ujar Lidya. “Atau… dia sedang lari dari sesuatu yang lebih sulit dari kita bayangkan.”
Ratna menatap dua rekannya. “Atau dia sudah tahu siapa yang kirim surat itu, dan memutuskan tidak perlu datang ke meja ini lagi.”
Sunyi.
Dan di tengah sunyi itu, Serra mengetukkan kuku ke kotak arisan hari itu. Ukirannya masih cantik. Tapi saat dibuka, tidak ada amplop uang seperti biasa.
Hanya satu lembar kartu putih.
Dan tulisan baru.