Tahun pertama setelah kepergian suami mereka bukanlah tahun berkabung seperti di buku saku psikologi populer. Itu tahun yang aneh.
Penuh bunga duka dan parfum mahal, ucapan belasungkawa dari orang yang bahkan tak tahu warna kesukaan almarhum, dan undangan makan malam dari pria-pria yang berpikir “janda elegan” adalah genre baru yang bisa ditaklukkan.
Mereka bertemu di satu tempat yang sama: rumah duka mendiang istri duta besar Jepang, tempat orang-orang kelas atas bertukar air mata sekaligus kartu nama.
Serra Kartasasmita (48 saat itu)
Datang dengan mobil Lexus hitam, ditemani sopir dan asistennya yang membawa clutch kecil berisi tisu basah dan salinan warisan properti dari suaminya.
Arwin, suaminya, meninggal dalam tidur—serangan jantung setelah ulang tahun pernikahan ke-25.
Serra tak menangis di pemakaman. Ia terlalu sibuk mengatur bunga dan memastikan wartawan gaya hidup tak memotret wajahnya dari sudut buruk. Tapi setelah itu, ia mulai berbicara sendiri di cermin.
Ia menjanda dengan dua hal: villa di Bali dan satu anak yang tak lagi bicara padanya.
Lidya Marbun (50)
Tampil dalam jumpsuit hitam berpayet dan kacamata hitam besar. Suaminya meninggal dalam kecelakaan mobil—bersama perempuan lain.
Ia datang ke rumah duka bukan untuk berduka, tapi… melihat bahwa orang lain pun kehilangan.
Ia tak pernah percaya pernikahannya sempurna, tapi tak mengira akan ditinggal dalam keadaan menjadi headline.
Ia menjanda dengan satu catatan: “jangan pernah kehilangan kendali, terutama di depan kamera.”
Maria Sukendar (46)
Mengenakan kebaya abu-abu tua dan sepatu flat. Ia datang dengan mobil biasa, ditemani anak lelakinya yang sopan dan sunyi.