Sekarang hanya tinggal mereka berdua dimeja makan, Nilam dan Rifki saling menatap penuh arti hingga kata yang tak ingin didengarkan oleh Nilam keluar dari mulut suaminya itu.
“Kenapa kamu selalu begini setelah kita menikah?” tanya Nilam dengan penuh sayu bergelimang air mata.
“Kamu tidak tahu apa-apa, dan kamu juga seharusnya sadar kalau kita memang tak cocok satu sama lain,” ujar Rifki pada Nilam dengan raut wajah masih kesal.
“Apa? apa yang kamu maksud Mas? Jangan bilang kalau Mas-“
“Ayo cerai!” ucap Rifki tanpa rasa bersalah sedikit pun.
“Apa?!” ucap Nilam tak percaya.
Mendengar apa yang telah suaminya ucapkan, Nilam sangat terpukul dan hatinya terasa perih hancur berkeping-keping. Nilam sempat terdiam syok setelah mendengar ajakan cerai dari suaminya itu, sebelum ia berkata.
“Cerai? Apa maksud Mas? Jangan bilang Mas mau kita cerai dan semua berakhir hanya sampai disini?” ujar Nilam masih tak percaya dengan perkataan suaminya itu.
“Besok pagi kita pergi ke kantor urusan agama, dan ingat satu hal! Aku tidak mencintaimu sama sekali,” ucap Rifki pada Nilam dengan tatapan penuh amarah dan pergi begitu saja meninggalkan Nilam dimeja makan.
Setelah Rifki pergi meninggalkannya sendirian dimeja makan, Nilam pun tertuduk sayu dan meneteskan air matanya, ia tak percaya bahwa hubungan rumah tangganya yang ia jaga dengan sepenuh hati ternyata berakhir seperti ini.
“Duuaarrk!” suara Rifki menghempaskan pintu depan rumah dan pergi entah kemana meninggalkan Nilam dirumah kontrakan mereka bersama adiknya Triska.
Setelah suara keras hempasan pintu oleh Rifki suaminya, tiba-tiba adiknya keluar dari kamar dengan mata yang berbinar-binar menatap sayu kakaknya yang tersedu pilu.
“Kakak? Cika takut sekali sama Bang Rifki ... kenapa Bang Rifki Kak? Bang Rifki marah sama Cika ya?” tanya Triska adiknya Nilam dengan nada sedu.
Mendengar perkataan adiknya yang menghampirinya dengan mata seperti baru saja menangis itu, Nilam pun mendekat pada adiknya dan memeluk erat Triska sambil menahan tangis berat.