Wanita tua itu segera membalik tubuh Yunita dengan bantuan tetangga. Mereka semakin iba saat melihat dahi Yunita terluka. Maryam segera mengelap cairan merah itu dengan tangan.
"Pasti dahinya terbentur meja, Bu!" komentar tentangganya. Maryam pun berpendapat hal yang sama.
Dua orang tetangga itu membantu mengurus Yunita, mereka juga membersihkan kaca gelas yang pecah. Sedangkan Maryam kembali disibukkan dengan Raina. Beruntung mereka hidup di kampung di mana penduduk masih saling peduli satu sama lain.
Siang harinya, rumah Maryam mulai ramai dengan kehadiran warga yang mengucapkan belasungkawa. Yunita sendiri masih lemah, sesekali juga pingsan saat teringat Rovis.
Sementara di Kalimantan, jenazah Rovis baru saja dikebumikan. Isak tangis keluarga Rovis juga begitu pilu, tapi tidak satu pun lagi diantara mereka yang menghubungi Yunita.
"Assalamualaikum," salam Frans; kakak Yunita yang sampai di rumah Bagio.
Kebetulan tadi Frans baru akan berangkat ke Serawak Malaysia yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Dengan kecepatan tinggi, pria itu segera berputar arah menuju rumah Rovis saat mendapat kabar buruk. Hanya butuh empat jam bagi Frans untuk sampai di kediaman Bagio.
Frans mengedarkan pandangan, ia melihat beberapa orang tengah duduk di teras rumah sambil menghapus air mata. Frans menduga kalau mereka adalah keluarga besar Rovis atau mungkin tetangga sekitar.
"Waalaikumussalam!" sahut orang-orang itu secara bersamaan.
Frans melangkah semakin masuk ke dalam rumah ingin menemui Bagio dan Nemi. Ternyata mereka sedang menangis di samping kasur yang sudah kosong.
"Assalamualaikum, Ayah, Ibu!" Frans mendekati kedua orang itu, lalu ikut duduk di samping mereka.
"Waalaikumussalam!" jawab Bagio singkat.
Frans mengulurkan tangan pada Bagio, ingin menyalami pria paruh baya itu.
Bagio menyambut uluran tangan Frans sekilas saja, setelahnya pria paruh baya itu kembali menenangkan Nemi yang masih menangis tergugu.
"Sabar, Bu. Sabar ...." Bagio terlihat begitu tegar walau matanya juga berkaca-kaca.
"Anak kita, Pak! Ibu tidak bisa kehilangan Rovis," racau Nemi dengan isakan tangisnya.
Frans hanya diam memperhatikan dua sejoli itu. Sambutan keluarga Rovis sangat dingin pada Frans, bahkan tidak ada yang menyambutnya dengan basa-basi sekedar menyuruh duduk, atau bertanya tentang perjalanannya tadi.
Setelah beberapa menit, suasana mendadak sedikit canggung bagi Frans, karena kehadirannya hanya dianggap angin lalu.
"Hmm ... jadi sudah selesai dimakamkan, Yah?" tanya Frans mencoba memecah suasana canggung diantara mereka bertiga.
Bagio menoleh, tangannya masih sibuk mengusap bahu sang istri. Mulut Bagio terbuka hendak menjawab, tapi Nemi lebih dahulu bicara.
"Iya, sudah selesai," sahut Nemi terdengar ketus tanpa melihat pada Frans, seakan bicara pada orang lain saja.
Perasaan Frans yang memang sedikit sensitif merasa tersinggung. Pria itu menghela nafas kasar, perlakuan orang tua Rovis membuat Frans berkecil hati. Tiba-tiba saja ia merasa seperti orang asing di keluarga adik ipar sendiri.
Frans ingin segera pergi, tapi mengingat Yunita yang pasti menunggu kabar darinya, membuat Frans memilih bertahan di rumah itu barang sebentar lagi.
"Bisa saya melihat makamnya, Bu?" tanya Frans masih berharap meraka sedikit ramah.
Nemi dan Bagio saling pandang tapi akhirnya Bagio yang menyahut, "Bisa, ayo ayah antar!"
Pria paruh baya itu berdiri dari duduknya lalu melangkah mendahui Frans. Mereka berangkat dengan motor milik Bagio ke TPU terdekat.
Perjalanan mereka begitu hening, Frans enggan banyak bicara setelah keluarga itu terkesan tidak mengacuhkan kehadirannya.
"Kondisi jenazah sangat mengenaskan, kami tidak tega membiarkannya terlalu lama," tutur Bagio yang seakan paham dengan apa yang Frans pikirkan.
Frans mengangguk samar sebagai respon. Pria itu mencoba mengerti perasaan keluarga almarhum saat ini.