"Loh?" Yunita melihat ke belakang punggung Frans, ia berharap Rovis ikut pulang bersama kakaknya itu.
"Cari siapa?" tanya Frans dengan lembut.
Beberapa detik setelahnya, Yunita malah terlihat seperti orang linglung. Ternyata orang yang sedang dicari tidak ada di sana.
Raut wajah Yunita seketika menyerngit, jelas sekali kalau dirinya tengah merasa kecewa.
"Nita!" sergah Frans yang tidak suka dengan ekspresi yang ditunjukkan adiknya itu.
Yunita masih melongo, ia pun teringat dengan kabar yang diterima kemaren. Namun wanita itu segera menepisnya, Yunita masih berharap kalau itu hanyalah mimpi.
Frans mengusap wajah Yunita dengan kasar. Pria itu bicara cukup keras seakan terbawa emosi, "Nita, sadarlah!"
Yunita mulai terisak kecil, wajahnya langsung berubah sendu membuat siapa saja yang melihat pasti merasa iba.
"Bang, aku menunggu suami aku pulang!" rengek Yunita terdengar manja seperti anak kecil.
Mata Frans melotot mendengar hal itu, ia yang tidak ingin Yunita lemah langsung menegur dengan cukup keras, "Rovis sudah meninggal, apa yang kau tunggu? Jangan lagi mengharapkan apa pun!"
Suara Frans terdengar begitu tinggi seakan memenuhi ruangan tengah rumah itu, membuat Yunita refleks menutup telinga dengan kedua tangannya.
"Tidak!" tolak Yunita bahkan dengan nada suara lebih keras dari Frans tadi.
Tidak terelakkan lagi, Raina yang ada di gendongan Maryam pun menangis kencang karena terkejut.
Seakan tidak peduli dengan suara tangisan anaknya, Yunita berbalik ke dalam kamar dan langsung menutup pintu dengan kencang.
Frans diam seribu bahasa tapi tangannya terlihat mengepal cukup kuat. Frans membiarkan Yunita berlalu, dada pria itu terasa sesak mengingat betapa buruknya sambutan keluarga Rovis kemaren.
"Frans, istighfar, Nak," lirih Maryam sambil menenangkan Raina yang masih menangis.
Maryam yang berdiri di samping Frans meneteskan air mata. Seumur hidup baru kali ini Maryam melihat putra sulungnya itu membentak Yunita. Biasanya Frans memang selalu tegas tapi tidak pernah membentak walau hanya sekali saja.
Sejurus kemudian, dari dalam kamar terdengar suara tangis Yunita yang sangat teramat pilu. Wanita itu terdengar memanggil nama Rovis beberapa kali, juga menanyakan janji untuk mengajaknya ke Kalimantan.
"Aishh, apa yang dia lakukan, Bu?" tanya Frans dengan mata semakin melebar.
Maryam hanya menggeleng lemah. Ia tidak ingin Frans tersulut emosi seperti yang terjadi barusan.
"Entahlah, Nak. Yunita butuh waktu!" ungkap Maryam dengan kukuh meminta Frans sabar menghadapi sikap Yunita.
Suara ratapan Yunita semakin kencang saja, membuat Frans kehilangan kesabaran. Pria itu merasa Yunita tidak boleh lemah, sebab keluarga Rovis tidak akan memberikan dukungan padanya.
"Mengapa aku tidak mengenal adikku sendiri? Harusnya dia menjadi wanita yang kuat." Frans sangat gelisah, tangannya menekan handle pintu hendak membuka paksa pintu kamar itu.
Frans berniat menyadarkan adiknya, lalu memaksa Yunita menerima takdir ini walaupun berat.
"Sabar, Frans! Adikmu butuh waktu," bujuk Maryam mengulang kata-katanya.
Maryam juga merasa tidak tega mendengar tangis pilu Yunita, tapi ia lebih tidak tega lagi jika Yunita mendapat bentakan dari Frans seperti tadi.
Frans mengusap kasar rambutnya kebelakang, mulut pria itu bergerak-gerak, terlihat jelas kalau sedang menahan omongan agar tidak mengumpat.
Akhirnya Frans mengalihkan pandangan pada Maryam. "Apa yang Yunita takutkan? Bukankah ada aku? Aku akan menjaga dia, Raina dan juga Ibu. Aku akan menjaga kalian dengan nyawa aku."