"Bang, temanilah aku barang tiga hari lagi," pinta Yunita disertai dengan rengekan seperti biasa. "Aku masih kangen dengan Abang."
Frans tersenyum tipis, beginilah sifat asli Yunita. Adiknya itu akan selalu merengek dan merengek seperti anak kecil kalau berada di sisinya.
Padahal Frans hapal betul jika di rumah ini tidak ada dirinya, maka Yunita akan menjadi wanita mandiri.
"Baik, abang bisa tunda satu hari saja untukmu," jawab Frans singkat lalu beranjak dari kamar Maryam.
Bukannya tidak mau mengikuti permintaan Yunita, tapi pekerjaan juga sudah menanti Frans di pulau Kalimantan sana.
Keesokan paginya, Yunita benar-benar memanfaatkan kehadiran Frans di rumah. Mereka membersihkan seluruh rumah dan pekarangannya hingga benar-benar bersih.
Hari sudah sore, Frans sedang mengemas barang-barang yang akan dibawa ke Kalimantan. Dengan bantuan Maryam, Frans melipat dan memasukkan bajunya ke dalam koper.
Kegiatan mereka berhenti saat terdengar ucapan salam di depan pintu sana, "Assalamualaikum!"
"Waalaikumussalam," sahut mereka berdua secara bersamaan.
Maryam melepas baju yang sedang dipegang di tangan, lalu berdiri dari duduknya. "Biar ibu saja yang buka pintu!"
Wanita tua itu melangkah ke depan untuk melihat siapa yang datang. Seketika Maryam merasa bahagia saat melihat teman masa sekolah Yunita yang datang.
"Silahkan masuk, biar ibu panggilkan Yunita dulu!" Maryam sangat berharap kalau kedatangan mereka, bisa membuat Yunita lebih bersemangat lagi dan bangkit dari keterpurukannya.
Enam orang teman Yunita masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu. Tak lama Frans juga ke depan untuk melihat tamu yang datang.
'Pemuda ini?' tatanpan Frans begitu intens pada satu-satunya laki-laki diantara mereka. Rupanya Frans masih ingat betul dengan pemuda yang duduk di paling ujung itu.
Juan langsung tertunduk saat mata garang Frans melihatnya dengan tajam. Tapi Frans hanya lewat saja, pria itu melanjutkan langkah ke luar rumah.
"Kalian?" sentak Yunita sedikit terkejut. Ia yang sudah sampai di dekat pembatas ruangan, tidak menyangka kalau sahabat masa sekolahnya yang datang.
"Kami turut berduka, Yun," sambut Melia yang merupakan sahabat paling akrab dengan Yunita di masa SMA.
Yunita tersenyum tipis sekali, ia melangkah dan duduk di sofa bersama teman-temannya itu. Hari ini keadaan Yunita jauh lebih baik dari kemaren.
"Maafkan kesalahan aku dan almarhum ya teman-teman," tutur Yunita yang kini menghapus air mata dengan ujung jilbab instan yang baru saja dikenakannya.
Apa yang dilakukan Yunita tidak luput dari pandangan seorang Juan. Pemuda yang memang menyukai Yunita sejak lama.
'Jujur aku sedih melihat kamu, Yun. Tapi aku juga merasa bahagia, harapanku untuk memiliki kamu seakan muncul kembali,' batin Juan terlalu jujur dengan perasaannya sendiri.
Juan sudah memendam cinta pada Yunita semenjak masa sekolah dulu. Tapi ia pernah dihadang Frans saat bertamu ke rumah Yunita di malam minggu yang kelabu.
Seketika Juan teringat dengan kejadian empat tahun yang lalu. Juan yang berniat bertandang ke rumah Yunita malah dihadang Frans di depan pagar.
"Siapa?" sergah Frans waktu itu.
"Saya Juan, Bang!" ucapnya memperkenalkan diri.
Awalnya Juan begitu percaya diri, ia turun dari motor butut milik ayahnya menghampiri Frans.