Di dalam kamar, Yunita menatap wajah bayinya dengan penuh rasa iba. Perasaan inilah yang membuat Yunita tidak sanggup berada di dekat Raina, bukan karena dia mengabaikan anaknya sebab terlalu larut dalam duka, bukan!
"Kasihan sekali kamu, Nak. Bahkan sedetik pun kau tidak punya kesempatan untuk berada di pelukan ayahmu." Seketika Yunita merasa dunia sangat tidak adil pada putri kecilnya itu.
Malam ini, untuk pertama kalinya semenjak kepergian Rovis, Yunita mau menjaga Raina sendiri. Malam sudah semakin larut tapi wanita itu tidak bisa tertidur barang sedetik pun.
Yunita pergi ke kamar mandi lalu berwudu untuk melaksanakan salat malam. Sepanjang malam Yunita meminta pada Yang Kuasa agar diberi kekuatan. Ia ingin menjaga Raina meski tanpa adanya sosok seorang suami.
Yunita menumpahkan segala resahnya di atas sajadah. Wanita itu menangis, mencurahkan isi hati dan harapannya tanpa ada yang ditutupi. Sepanjang malam doa yang ia panjatkan hanya untuk kebahagiaan Raina.
"Rupanya sudah pukul empat," gumam Yunita saat melihat jam di ponsel. Tangannya meletakkan ponsel lalu menghapus sisa air mata di pipi.
Tatapan Yunita teralih pada Raina, cara tidur bayi itu membuat Yunita tersenyum tipis. Untuk kali ini, ia yakin kalau Yang Kuasa akan memberinya kekuatan menjaga buah hatinya itu.
"Bang Rovis!" Yunita tersenyum getir sebelum akhirnya dia tertidur di atas sajadah, masih memakai mukena.
Pagi menjelang. Frans dan Maryam sudah duduk di meja makan untuk sarapan.
"Yunita mana, Bu?" Frans merasa heran sebab adik satu-satunya itu tumben belum duduk di meja makan.
Tidak ada jawaban dari Maryam, membuat Frans memutuskan untuk melihat ke kamar Yunita.
"Nita, bangun. Ayo sarapan dulu! Abang jadi berangkat sebentar lagi ini." Frans mengetuk pintu kamar Yunita.
Tak kunjung mendengar sahutan dari dalam membuat Frans memanggil lebih keras lagi, "Nita, sudah bangun belum?"
Yunita pun terbangun, tapi kepalanya terasa sedikit pusing. Tidak ingin Frans menunggu lama, wanita itu pun menyahut, "Iya, Bang. Sebentar ...."
Yunita membuka pintu kamar, ia memaksakan tersenyum untuk menyembunyikan sakit kepala karena kurang tidur.
"Loh, kamu baru salat subuh?" tanya Frans heran melihat Yunita masih memakai mukena padahal hampir pukul tujuh pagi.
"Eh," sentak Yunita saat melihat di jendela sana matahari sudah cukup tinggi. "Aku baru mau salat, Bang. Terlambat bangun."
Benar saja, tidak bisa tidur semalaman membuat Yunita terlambat salat subuh.
"Ya sudah, salatlah dulu, abang tunggu di meja makan!" perintah Frans yang langsung dibalas anggukan oleh Yunita.
Yunita berbalik ke kamar, ia salat dengan buru-buru. "Ya Allah, maaf hamba kesiangan."
Setelah salat, Yunita keluar kamar bersama Raina digendongannya. Mereka sarapan bersama sebelum Frans berangkat kembali ke Kalimantan.
Sementara di rumah, Juan sudah bersiap dengan cukup banyak berkas lamaran di tangannya. Pemuda itu hendak mengirim berkas itu melalui pos.
"Juan berangkat dulu, Yah," pamitnya pada sang ayah yang mengantar Juan ke depan pintu.
"Jangan lama, ayah juga harus keliling setelah ini!" jawab Mustofa; ayah Juan. "Semoga kau segera dapat pekerjaan."
Juan tersenyum setelah menyalami tangan ayahnya. Dalam hati pemuda itu sangat berharap, salah satu larannya diterima agar bisa segera pantas untuk Yunita. Juan bahkan tidak peduli di pulau mana perusahaan itu berada, terpenting ia harus dapat pekerjaan.