"Bu-bukan begitu, Bang. Aku cuma —" alasan yang coba Yunita utarakan terpotong begitu saja.
Frans menatap nyalang adiknya itu, lalu menyerahkan Raina pada Maryam. Tanpa kata, pria gagah itu beranjak dengan wajah masam dan geraham beradu kuat.
Mulut Yunita ternganga saat Frans lewat di depannya, tapi ia tidak sanggup melanjutkan kata-kata yang tadi terputus. Yunita melihat Maryam seakan meminta bantuan.
Maryam tersenyum lembut terlihat begitu tenang.
"Tidak apa-apa! Biar nanti ibu yang coba bicara pada abangmu," bisik Maryam, pandangannya juga tertuju pada punggung lebar Frans yang menghilang di balik gorden pintu kamar.
"Makasih, Bu," ucap Yunita membalas senyuman lembut Maryam dengan senyum yang dipaksakan.
Frans yang sudah sampai di dalam kamar berdiri di depan lemari memperhatikan cermin. Namun, bukan bayangan wajahnya yang terlihat.
Frans melihat memori masa lalu saat ia menyaksikan Maryam menyembunyikan air mata di balik senyum palsu.
Kepala Frans terasa berdenyut sakit, tiba-tiba ia teringat saat ibunya dimaki pelanggan, yang sengaja meminta model pakaiannya dirubah, padahal pakaian itu sudah sesuai dengan permintaan kemaren. Jerih payah Maryam saring kali tidak dihargai waktu itu.
"Aku tidak ingin Yunita mengalami hal yang sama dengan ibu," harapnya yang masih saja dikuasai emosi. Nafas Frans tersengal, perasaan untuk melindungi Yunita begitu kuat di hatinya.
Sebagai orang tua tunggal, perjuangan Maryam untuk membesarkan Frans dan Yunita tanpa bantuan keluarga sangatlah berat.
"Dari semua orang yang memecutkan cambuk, mereka yang paling aku ingat," ujar Frans, bibirnya menyeringai saat membayangkan wajah adik kandung ayahnya datang ke gubuk mereka, untuk meminjam uang dengan kata-kata kasar.
Frans mengepalkan tinju cukup erat, nyaris memecahkan kaca lemari itu. Sebagai pria yang terbiasa dengan hidup keras sedikit mempengaruhi watak Frans.
Suatu keputusan yang akan dilakukan Maryam atau Yunita harus sesuai keinginannya, jika tidak, maka Frans akan kesulitan menahan diri.
Pria gagah itu tidak pernah menceritakan pada siapa pun tentang apa yang dirasakan. Perjuangan Frans untuk sampai di titik ini juga tidaklah mudah. Ada banyak rintangan yang dihadapi demi bisa menjadi tulang punggung keluarga, hingga mereka hidup dengan sangat layak seperti saat ini.
"Frans mengusap wajahnya lalu beristighfar, "Astaghfirullah hal adzim."
Hampir saja rasa sakit hati di masa lalu membuat Frans kebablasan melepas emosi. Pria itu memilih beranjak meninggalkan lemari, lalu merebahkan badan di kasur. Ia meletakkan tangan di atas kepala hingga tertidur dengan sendirinya.
Siang berganti sore, Frans masih mendiami Yunita dan Maryam. Ia juga bahkan memilih keluar rumah menghabiskan waktu berkeliling kampung.
Setelah magrib, Frans mengemas pakaian untuk dibawa ke Kalimantan esok pagi. Maryam mendekati putranya itu, lalu membantu Frans berkemas seperti biasa.
"Hmm Frans," panggil Maryam memulai percakapan.
"Iya, Bu!" sahut Frans dengan cepat. Ia menoleh pada Maryam dengan raut wajah dingin.
Suasana hening seketika, Maryam mau pun Frans sama-sama sibuk sendiri.
Maryam duduk lesehan di tengah rumah, setelah semua pakaian yang akan Frans bawa ke Kalimantan sudah masuk ke dalam koper.
"Mengapa kau tidak mau mendengar Yunita terlebih dahulu, ibu pikir tidak masalah kalau dia ingin membuka kios jahit itu lagi," usul Maryam dengan nada lembut, berharap Frans mau mengerti.