Malam harinya Frans teramat galau. Ia bangun di sepertiga malam untuk melaksanakan salat tahajud. Pria yang tidak pandai mengungkapkan perasaan itu ingin mengadu pada Yang Kuasa saja.
Frans terkejut saat ia selesai mengucapkan salam pada tahiyat akhir, seseorang sudah duduk di samping kanannya.
"Eh Pak Thar?" Frans tersenyum ramah lalu melipat sajadahnya.
Meski posisi Frans sebagai mandor sedangkan Tharmizi kuli, tetap saja Frans begitu menghormati pria yang sudah berusia lima puluh tahunan itu.
Tharmizi menggeser duduk sedikit lebih dekat dengan Frans. Sesekali Frans memang memilih tidur bersama para tukang, walau sudah disediakan tempat khusus untuk mandor.
"Tadi saya dengar, kau baru saja menolak Bu Elma, kenapa begitu?" tanya Tharmizi dengan suara pelan. Ia sedikit menelengkan kepala, merasa penasaran dengan alasan Frans.
Begitu cepat gosip menyebar di tempat ini. Bahkan Tharmizi yang tadi siang tidak ada di lokasi pun sudah tahu.
Di kampung, rumah mereka berdekatan, keluarga Tharmizi cukup dekat dengan Maryam. Ia juga sudah menganggap Frans sebagai anak sendiri.
Frans menggeleng ragu, sejenak setelanya ia pun beralasan, "Bukan karena apa, Pak. Mungkin belum jodoh saya."
Frans bersembunyi di balik senyum palsu seakan ikhlas melepas Elma dengan kata belum jodoh. Perasaan di hati hanya dirinya sendiri yang tahuÂ
Tharmizi menghembuskan nafas perlahan, masih saja tidak habis pikir dengan keputusan Frans.
"Padahal kami sangat mendukungmu Frans. Usiamu sudah matang dan Bu Elma gadis yang baik. Kalian sangat cocok!" komentar Tharmizi benar-benar dari hati.
Frans merubah duduk menjadi bersila. Percakapan dengan Tharmizi cukup serius. Beberapa detik, Frans masih saja bungkam, bahkan pada Tharmizi saja ia tidak bisa mengungkapkan perasaannya.
"Tadi saya melihat Bu Elma berjalan sambil menangis menuju mobil. Tapi saya tidak berani menegurnya." Tharmizi menepuk bahu Frans sekilas. Ia dapat merasakan kegalauan saat melihat mata Frans secara langsung.
Frans melihat langit-langit ruangan itu. Seketika wajah cantik Elma melintas begitu saja dalam bayangan. Sungguh gadis itu sempurna dengan semua kemewahan yang dimilikinya.
"Tak lama setelahnya saya mendengar gosip tentang kalian. Kasihan sekali Bu Elma, Frans. Dia sudah sangat berharap," ungkap Tharmizi memberitahu pendapatnya.
Frans tersentak dari lamunannya, mulai menyadari kalau semua ini begitu menyakitkan bagi Elma. Bahkan saat terakhir, ia mendengar suara Elma tercekat tangisnya sendiri.
"Saya belum siap berumah tangga, Pak. Saya harus memastikan Yunita memiliki seseorang yang akan menjaganya terlebih dahulu." Akhirnya alasan Frans memilih meninggalkan Elma terungkap.
Sungguh ia belum berniat berumah tangga, sebelum Yunita memiliki seorang yang akan menjaganya. Frans belum bisa lepas dari keluarganya dan ia merasa takut kalau hal itu akan menyakiti hati istrinya kelak.
Tharmizi mengerti, ia pun tahu kalau Yunita baru saja kehilangan suaminya. Tharmizi juga sangat tahu kalau Frans adalah tulang punggung keluarga yang memilik tanggung jawab berat.
"Setidaknya beri Bu Elma alasan. Tidak baik menyakiti perasaan anak gadis orang seperti ini. Ingat, kau punya adik perempuan, apa yang kau rasakan jika seseorang mempermainkan adikmu?" Kali ini Tharmizi menasihati Frans seperti seorang ayah menasihati anaknya.
Frans tertunduk dalam, beruntung suasana hatinya sangat tenang setelah salat malam. Nasihat Tharmizi dapat diterima dengan baik.
"Besok saya akan menemui Bu Elma," putus Frans. "Terima kasih sudah menasihati saya, Pak."
Mereka berdua akhirnya saling melempar senyum. Frans yang sudah lama kehilangan sosok ayah, dapat kembali merasakan perhatian dari sosok seorang ayah.
Setelahnya mereka merebahkan badan di tempat tidur masing-masing.
Pagi harinya di kampung, Yunita sibuk mondar-mandir di sepanjang rumah. Sudah seminggu semenjak Frans kembali ke Kalimantan, sudah selama itu pula Yunita mengabaikan ponsel.
Ia sedikit kecewa dengan sikap Frans, yang tidak memperbolehkan keinginannya tanpa alasan jelas.
"Aku bosan tidak ada kegiatan seperti ini," keluh Yunita setelah semua pekerjaan rumah sudah selesai dikerjakan. "Raina juga sudah tidur. Aku ngapain lagi ya?"
Wanita itu sedikit memijit pelipisnya. Apa yang dilakukan Yunita tidak lepas dari perhatian Maryam.