Malam harinya Juan istirahat setelah membersihkan kedai yang sudah lama tidak dipakai. Pemuda itu sudah semenjak sampai tadi bergelut dengan debu dan juga sarang laba-laba.
"Akhirnya selesai!" seru Juan setelah karpet tahu tipis, berhasil ia bentangkan di tengah ruangan, kedai itu hanya berukuran 2 x 2 namun sangat cukup bagi Juan sendirian.
"Beruntung di dunia ini masih ada orang baik seperti Pak Arnes dan keluarga. Andai tidak ada mereka, mungkin aku sudah terlunta-lunta." Juan mulai merebahkan badan di atas karpet tipis itu.
"Cukup nyaman!" komennya seraya merubah posisi tidur menjadi miring.
Juan mengambil tas untuk dijadikan bantal. Ia pun merubah posisi kembali, menjadi terlentang.
Pandangannya begitu fokus ke langit-langit kedai, membayangkan wajah cantik Yunita yang menjadi penyemangat.
Tiba-tiba pemuda itu juga merindukan kampung halaman, terutama ayahnya yang seharian ini belum sempat dikirimi kabar.
"Kira-kira ayah lagi ngapain ya?" Rasa rindu di hati Juan kian membuncah kala mengingat wajah damai ayahnya, yang selalu tersenyum memperlihatkan gigi ompong di bagian samping.
"Besok aku harus kabari ayah!" Juan pun tidak ingin kalau ayahnya khawatir.
"Eh yang kemaren diberikan ayah apa?" Juan teringat sesuatu saat Mustofa memberikan dan berpesan padanya sebelum berangkat. Juan duduk, kembali membuka tas dan mengambil barang yang dititipkan Mustofa pagi itu.
"Kertas apa sih?" Juan sangat penasaran, dengan cekatan tangannya membuka lipatan kertas itu.
Juan membesarkan matanya untuk melihat dengan jelas, benda yang ada di dalam lipatan kertas. Cahaya lampu yang berwarna kuning keemasan sedikit membuat pandangan Juan buram.
"Kalung?" Tangan Juan mengambil barang itu lalu berdiri. Ia mengulurkan tangan ke arah lampu yang hanya dua jengkal di atas kepala.
"Mana emas benaran lagi!" Mata Juan semakin terbuka lebar saat melihat kalung emas lengkap dengan surat pembeliannya.
"Ya ampun, bisa-bisanya ayah menyimpan barang berharga milik ibu hanya dalam lipatan kertas!" Juang geleng-geleng kepala mengingat cara ayahnya memperlakukan barang itu. "Bukannya disimpang dalam dompet, malah dalam kertas!"
Tanpa pikir panjang, Juan langsung menyimpan kembali kalung itu ke tempat semula.
Dapat Juan pastikan kalau itu adalah milik ibunya, karna di kertas itu tertera nama almarhum dan tahun pembelian yang sudah belasan tahun silam.
Hari sudah semakin malam, Juan tidur dengan memeluk tas. Ia mendadak takut seseorang akan mengambil tas itu dari dirinya.
Juan terlelap, tiba-tiba saja sosok yang sangat dirindukan hadir di dalam mimpi. Wajahnya tidak terlihat begitu jelas, tapi perasaan Juan tahu kalau itu adalah ibunya.
"Ibu?" panggil Juan yang seakan membalas senyuman wanita itu. Juan memilih duduk dan merebahkan kepala di pangkuan ibunya. Tak ayal belaian penuh kasih sayang langsung menyapa rambut pemuda itu.
Juan merasa saat ini ibunya tengah tersenyum lembut, mereka duduk di bangku depan rumah. Tidak ada percakapan apa pun di antara mereka, tapi perasaan Juan teramat sangat bahagia.
Juan kembali terbangun, tanpa sadar senyum tipis terukir di wajah tampannya. Tak lama terdengar azan subuh berkumandang cukup jauh.
"Kok sudah subuh aja?" Semua terasa aneh bagi Juan. Ia mengintip di celah jendela, agaknya mata hari memang sedang bersiap menerangi bumi.
"Ahh, benar hanya mimpi! Rasanya baru dua menit bertemu ibu, tapi mengapa sudah hampir pagi saja? Huffff ...." sesal Juan.
Juan memaksakan diri untuk bangkit melawan rasa malas yang tiba-tiba datang. Ia pun melaksanakan salat subuh sendirian, memohon yang terbaik untuk hidupnya saat ini.
Juan merebahkan badan untuk tidur, ingin mengulang kembali mimpi bertemu sang ibu. Mungkin karena badannya masih lelah setelah perjalan kemaren, hingga tidak butuh waktu lama untuk terlelap kembali.